Gelombang unjuk rasa di berbagai daerah untuk menolak pengesahan UU Cipta Kerja dituding bagian dari skenario dengan agenda lebih jauh: menurunkan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Sejarawan Ridwan Saidi mengakui dalam pembabakan sejarah Indonesia, sudah dua kali perubahan kepemimpinan nasional selalu diawali dengan gelombang unjuk rasa.
Di akhir tahun 1965, Presiden Soekarno berhadapan dengan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan banyak kesatuan aksi lainnya yang menuntut pembubaran PKI.
Pada Desember 1965, para mahasiswa sempat melakukan pertemuan dengan Bung Karno dan tetap menuntut supaya PKI dibubarkan. Tapi, Bung Karno bergeming.
Akibatnya, unjuk rasa semakin membesar pada kurun Januari-Maret. Surat perintah sebelas maret atau Supersemar mengakhiri kekuasaan Bung Karno.
”Di zaman Pak Harto kan juga begitu. Demonstrasi di mana-mana sampai akhirnya beliau mundur,” terang Ridwan dalam video wawancara di saluran youtube Refly Harun, Senin (19/10/2020).
Sekarang, di masa kekuasan Presiden Jokowi setelah 22 tahun reformasi, demonstrasi kembali marak terjadi di berbagai daerah menyuarakan penolakan terhadap omnibus law UU Cipta Kerja.
Saat ditanya Refly apakah Jokowi sedang menghadapi tantangan yang sama? Ridwan mengemukakan sebuah teori.
”Sejarah mencatat setiap titik pintasannya dan para pelaku sejarah ingin melintasi kembali titik itu. Tapi sejarah sendiri bosan mengulang mencatat hal yang sama. Masak tiga kali?” ujar tokoh Betawi ini sembari tertawa. {sindonews}