News  

Istana Siaga Satu! 3 Sebab Ini Bisa Bikin Nasib Jokowi Berujung Seperti Soeharto

Langkah Jokowi semakin terjal dan bukan tidak mungkin nasibnya seperti Presiden Kedua RI, Soeharto.

Krisis Ekonomi dan desakan publik menjadi kondisi yang bisa disejajarkan dengan situasi ketika penguasa 32 tahun ini mengakhiri periode jabatannya.

ketidakpuasan atas beberapa kebijakan menjadi pemicunya, di antaranya RUU KPK yang dituduh mempreteli kekuatan KPK dan RUU Cipta Kerja yang tidak berpihak kepada rakyat.

Ketidakpuasan publik terjadi manakala Jokowi mengesahkan RUU KPK, tindakan ini diendus sebagai upaya pelemahan KPK agar tidak menjadi lembaga yang antibodi.

Patut diketahui, KPK banyak sekali menjebloskan pihak ekeskutif maupun legislatif ke penjara.

Yang terbaru adalah, mantan Gubernur DKI Jakarta ini juga menjadi pihak yang dituding oleh masyarakat sipil atas dukungannya pengesahan RUU Cipta Kerja atau Omnibus Law yang oleh banyak kalangan bermasalah dan kontroversial.

Pada 6 Oktober 2020, melalui sidang paripurna DPR RI secara resmi mengesahkan RUU Omnibus Law yang hingga saat ini masihi dikritik. Salah satunya yang menggelikan adalah salah ketik di beberapa bagian dan hilangnya pasal 5.

Pasca pengesahan itu, masyarakat merespon dengan unjuk rasa di beberapa daerah di Indonesia dan terus akan berlanjut.

Beberapa lembaga survei juga menunjukkan respon negatif masyarakat Indonesia terhadap pemerintahan Jokowi.

“Survei menunjukan meningkatnya ancaman terhadap kebebasan sipil. Mayoritas publik cenderung setuju atau sangat setuju bahwa saat ini warga makin takut menyuarakan pendapat (79,6 persen),” ujar Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi, Sabtu 25 Oktober 2020.

Akademisi UII, Muhammad Zulfikar Rahmat dan Peneliti INDEF, Media Wahyu Afkar menyatakan akumulasi kekecewaan publik terhadap Jokowi menjadi tiga isu utama.

1. Kegagalan Jokowi memberikan perlindungan bagi Masyarakat Indonesia dalam Menghadapi Pandemi Covid-19

Sebelumnya, jajaran di pemerintah terkesan meremehkan hingga merespon dengan tidak serius meski sebagian pihak telah memberikan warning mengenai wabah yang merebak pertama kali di Wuhan, Cina pada akhir tahun 2019.

Kini, Indonesia menjadi negara dengan angka kematian tertinggi di Asia Tenggara. Pada 7 November 2020, 430 ribu kasus Covid-19, tertinggi di Asia Tenggara dan peringkat 21 di dunia.

Yang menjadi sorotan, khususnya para akademisi adalah pemerintahan Jokowi lebih fokus untuk menyelamatkan kondisi Ekonomi di tengah badai resesi.

Pemerintah terlihat enggan melakukan sejumlah antisipasi demi mengurangi penyebaran virus Corona.

“Alih-alih mengalokasikan sumber daya ke sektor kesehatan ketika virus pertama kali menyerang negara Indonesia pada Maret, pemerintah memutuskan untuk mengalokasikan hampir Rp 300 miliar di sektor pariwisata untuk menangkal dampak negatif dari wabah virus corona.

Inisiatif, yang bertujuan untuk menarik lebih banyak turis asing, akhirnya ditunda karena tekanan dari masyarakat.” dilansir dari the conversation 6 November 2020.

Hal ini berkebalikan dengan dua negara tetangga, Vietnam dan Singapura. Kedua negara itu dianggap berhasil dalam menangani penyebaran Covid-19.

“Ketika negara-negara seperti Vietnam dan Singapura yang mendapat pujian atas penanganan COVID-19 mereka telah memberlakukan aturan ketat untuk melindungi rakyatnya.

Sebaliknya, pemerintah Indonesia justru hanya memikirkan agar aktivitas ekonomi tetap berjalan normal.”

Keputusan lainnya yang membuat publik semakin bertanya-tanya adalah, Kementrian BUMN mengharuskan karyawannya yang berusia di bawah 45 tahun untuk tetap bekerja di kantor, mengabaikan anjuran bekerja dari rumah.

Kebijakan ini sebagai upaya untuk melakukan relaksasi atau melonggarkan kebijakan lockdown secara parsial, khususnya di bidang bisnis.

Publik juga dikejutkan dengan kehadiran 500 pekerja Cina sebagai bagian sejumlah pengerjaan proyek-proyek Cina di Indonesia.

Menjawab keresahan masyarakat, Menko Bidang Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan manyetakan bahwa hal ini sebagai bagian dari meningkatkan perekonomian negara.

Keputusan tersebut malah menjadi kontradiksi dengan kebijakan penanganan Covid-19 seperti pembatasan sosial.

Tidak harmoninya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam mendeteksi individu juga menjadi permasalahan dalam penentuan jumlah individu yang tertular.

Tenaga medis, sebagai ujung tombak dalam memerangi pandemi ini juga tida dibekali dengan perlengkapan yang memadai. hingga saat ini, ratusan tenaga medis menjadi korban dari overload bekerja maupun tertular pasien Covid-19.

Tragisnya, sejauh ini Indonesia tengah mengalami resesi sedangkan korban Covid semakin bertambah dari hari ke hari.

2. Tidak Mempedulikan Keluhan Masyarakat

Pada pertengahan tahun, sejumlah elemen masyarakat, termasuk kelompok Agama terbesar di Indonesia, menyerukan untuk menunda penyelenggaraan Pilkada.

Namun hal ini direspon negatif, pemerintah tetap bersikeras untuk terus melanjutkan pemilihan di 270 daerah di akhir tahun.

Pemerintah berdalih akan menerapkan protokol kesehatan sehingga tidak berdampak positif terhadap pertambahan jumlah korban Covid-19.

Faktor ekonomi lagi-lagi menjadi tameng. Saat masa Pilkada, roda perekonomian akan terus berputar.

Buah pemikiran hasil kolaborasi antara dosen HI dan peneliti di organisasi yang berfokus pada isu-isu Pengembangan Ekonomi dan Keuangan ini menyatakan bahwa sikap masa bodoh disebabkan oleh dua hal:

“Pertama, faktor Gibran Rakabuming Raka dan menantunya, Bobby Nasution menjadi peserta Pilkada di Solo, Jawa Tengah dan Medan, Sumatera Utara. Alasan penundaan ini akan berdampak negatif bagi keikutsertaan kedua kandidat yang diusung oleh partai PDI-P.”

Permasalahan berikutnya yang membuat rakyat semakin geram adalah Jokowi tidak mengindahkan keluhan rakyat soal RUU Cipta Kerja.

“Kedua, Jokowi menutup telinga atas tuntutan masyarakat untuk menghentikan pengesahan RUU Cipta Kerja.

Sebaliknya dia dan anggota parlemen diam-diam mengeluarkan undang-undang yang dikritik karena mengorbankan tenaga kerja dan lingkungan demi mengutamakan kepentingan investor.”

Unjuk Rasa di berbagai wilayah di Indonesia tidak membuat Jokowi bergeming. Malah, rakyat dihadiahi oleh gas air mata dan ditangkap tanpa didampingi kuasa hukum.

Buruknya pemerintahan Jokowi dapat terlihat dari represi yang dilakukan pemerintah dalam membungkan orang-orang kritis atas kebijakannya. Beberapa bahkan telah ditangkap.

“Salah satunya adalah Ravio Patra, peneliti independen dan pemerhati pengelolaan data dan informasi pemerintah, yang ditangkap atas tuduhan menyebarkan informasi palsu setelah mengkritik pemerintah di Twitter.”

Belakangan ini, Pemerintah merambah ke media sosial dan tidak segan-segan menutup akun yang sering mengkritik pemerintah dan dilabel dengan penyebar hoaks.

Sebelumnya, aktivis, jurnalis dan sutradara film dokumenter, Dhandy Laksono juga ditangkap ada 27 September 2019.

Pihak berwajib mengenakan pasal Pasal 28 Ayat (2) jo Pasal 45A Ayat (2) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.

UU ini mengatur tentang penyebaran ujaran kebencian terhadap individu atau suatu kelompok berdasarkan SARA. Pria berusia 44 tahun ini kerap mengkritik pemerintahan melalui berbagai film dokumenter lewat Watch Doc Documentary.

Salah satu yang menghebohkan adalah dokumenter ‘The Sexy Killer’. Film yang berdurasi 1,5 jam itu mengungkap peran para elit politik di balik bisnis batu bara.

Dalam film ini diceritakan bagaimana industri batu bara berdampak pada warga, terutama nelayan dan petani.

Selain itu, musisi dan juga aktivis, jerinx juga ditangkap dan diancam hukuman 3 tahun penjara setelah unggahannya dalam ujaran “IDI Kacung WHO”.

Bukan kali ini saja pria bernama asli Ari Astina ini mengkritisi kebijakan pemerintah. Sebelumnya, drummer SID ini juga bergabung dalam Gerakan “Bali Tolak Reklamasi”.

Dampak dari aktivitas tersebut adalah band Punk asal Bali, Superman Is Dead kesulitan bermain di sejumlah tempat karena pilihan politik band yang pernah melakoni tur di Amerika pada tahun 2009. {pikiranrakyat}