Berdiri Sejak 1998, FPI Tak Pernah Lelah Berantas Maksiat dan Terjun Aksi Kemanusiaan

Pemerintah resmi menghentikan kegiatan Organisasi Masyarakat (Ormas) Front Pembela Islam (FPI), Rabu (30/12/2020). Lalu, apa itu ormas FPI?

FPI adalah sebuah organisasi massa Indonesia yang mengusung pandangan Islamisme konservatif. FPI memiliki basis massa yang signifikan dan menjadi motor di balik beberapa aksi pergerakan Islam di Indonesia, seperti Aksi 2 Desember pada 2016 atau yang dikenal aksi 212.

FPI sendiri berdiri pada 17 Agustus 1998 atau empat bulan setelah lengsernya Presiden Soeharto. Dideklarasikan oleh sejumlah habaib, ulama, mubaligh, dan aktivitas muslim yang disaksikan para santri se-Jabodetabek, FPI memiliki tujuan untuk menegakan hukum dinegara sekuler.

Organisasi ini dibentuk dengan tujuan menjadi wadah kerja sama antara ulama dan umat dalam menegakkan Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar di setiap aspek kehidupan.

Adapun yang melatarbelakangi pendirian FPI yaitu adanya penderitaan panjang ummat Islam di Indonesia, karena lemahnya kontrol sosial penguasa sipil maupun militer akibat banyaknya pelanggaran HAM yang dilakukan oleh oknum penguasa.

Kemudian adanya kemungkaran dan kemaksiatan yang semakin merajalela di seluruh sektor kehidupan. Serta adanya kewajiban untuk menjaga dan mempertahankan harkat dan martabat Islam serta ummat Islam.

Dibawah Kepemimpinan Habib Rizieq Shihab, FPI menjadi sangat terkenal karena aksi-aksinya yang kontroversial. Mulai dari penutupan klub malam, tempat pelacuran dan tempat-tempat yang diklaim sebagai tempat maksiat.

Konflik dengan organisasi berbasis agama lain adalah wajah FPI yang paling sering diperlihatkan dalam media massa.

Di samping aksi kontroversial yang dilakukan, FPI juga melibatkan diri dalam aksi-aksi kemanusiaan antara lain pengiriman relawan ke daerah bencana tsunami di Aceh, bantuan relawan dan logistik saat bencana gempa di Padang dan beberapa aktivitas kemanusiaan lainnya.

Tindakan FPI sering dikritik berbagai pihak karena tindakan main hakim sendiri yang berujung pada perusakan hak milik orang lain.

Pernyataan bahwa seharusnya Polri adalah satu-satunya intitusi yang berhak melakukan hal tersebut dijawab dengan pernyataan bahwa Polri tidak memiliki insiatif untuk melakukannya.

Pada 2002, FPI menuntut agar syariat Islam dimasukkan pada pasal 29 UUD 45 yang berbunyi, “Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dengan menambahkan “kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” seperti yang tertera pada butir pertama dari Piagam Jakarta yang dirumuskan pada tanggal 22 Juni 1945 ke dalam amendemen UUD 1945 yang sedang dibahas di MPR sambil membawa spanduk bertuliskan “Syariat Islam atau Disintegrasi Bangsa”.

Namun Anggota Dewan Penasihat Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) Dr. J. Soedjati Djiwandono berpendapat, bahwa dimasukkannya tujuh kata Piagam Jakarta ke dalam UUD 1945 yang diamendemen, justru dikhawatirkan akan memecah belah kesatuan bangsa dan negara, mengingat karekteristik bangsa yang majemuk.

Pembentukan organisasi yang memperjuangkan syariat Islam dan bukan Pancasila inilah yang kemudian menjadi wacana pemerintah Indonesia untuk membubarkan ormas Islam yang bermasalah. [OkeZone]