News  

Amnesty Internasional: Pelarangan FPI Berpotensi Gerus Kebebasan Sipil

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid menilai pelarangan kegiatan, penggunaan simbol dan atribut Front Pembela Islam (FPI) berpotensi mendiskriminasi dan melanggar hak berserikat dan berekspresi.

“Keputusan ini berpotensi mendiskriminasi dan melanggar hak berserikat dan berekspresi, sehingga semakin menggerus kebebasan sipil di Indonesia,” kata Usman dalam keterangan tertulis, Rabu (30/12).

Usman menilai seharusnya pemerintah tidak membuat keputusan sepihak. Jauh lebih baik mengutamakan pendekatan hukum dan peradilan ketimbang langsung menetapkan FPI sebagai organisasi terlarang.

“Misalnya, proses hukum pengurus ataupun anggota FPI yang diduga terlibat tindak pidana, termasuk ujaran kebencian dan hasutan melakukan kekerasan berdasarkan agama, ras, asal usul kebangsaan maupun minoritas gender. Itu kewajiban negara.” kata dia.

Usman mengamini ada unsur masyarakat yang menentang sikap intoleran berbasis kebencian agama, ras, atau etnis yang kerap ditunjukkan oleh pengurus dan anggota FPI.

Akan tetapi, Usman tetap menganggap pelarangan FPI sebagai keputusan yang berlebihan karena dilakukan tanpa proses pengadilan.

“Yang perlu diperbaiki adalah mekanismenya. Amnesty menyarankan pemerintah untuk membuat mekanisme yang lebih adil sesuai standar-standar hukum internasional, termasuk pelarangan dan pembubaran sebuah organisasi melalui pengadilan yang tidak berpihak,” ujar Usman.

Dia mengatakan bahwa pelarangan FPI adalah dampak dari Perppu No 2 tahun 2017 tentang ormas yang telah ditetapkan menjadi undang-undang, yakni UU No. 16 tahun 2017. UU tersebut tidak mensyaratkan pembubaran atau pelarangan ormas lewat proses pengadilan.

“UU ini bermasalah dan harus diubah. Menurut hukum internasional sebuah organisasi hanya boleh dilarang atau dibubarkan setelah ada keputusan dari pengadilan yang independen dan netral,” ucap Usman.

Sebelumnya, pemerintah menetapkan FPI sebagai organisasi terlarang. Pelarangan tertuang dalam surat keputusan bersama (SKB) yang ditandatangani enam pejabat tinggi negara tanpa ada putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. {CNN}