News  

5 Alasan Prabowo Subianto Tetap Punya Peluang Besar Di Pilpres 2024

Di penghujung tahun 2020 dan awal tahun baru 2021, berbagai survei politik kembali dirilis terkait Pilpres 2024 yang masih sangat jauh jaraknya dari sekarang.

Poinnya berkisar pada sejumlah kandidat potential yang digadang atau diendorse maju di 2024. Sebut misalnya hasil survei terbaru SMRC yang menempatkan Ganjar Pranowo pada posisi teratas, dengan15,7%, disusul Prabowo di 14,9%, Anies Baswedan 11%, Sandiaga Uno 7,9%, Ridwan Kamil 7,1%, Agus Harimurti Yudhoyono 3,1%, dan Tri Rismaharini 3,1%.

Muncul narasi yang berkembang bahwa peluang Prabowo pada Pilpres 2024 relatif kecil bisa menang pasca Jokowi lengser nanti.

Disebutkan bahwa cuma sekitar 50% pemilih Gerindra pada Pileg 2019 yang akan memilih Prabowo seandainya Pilpres dilakukan sekarang. Begitu juga hanya 39% pemilih Prabowo pada Pilpres 2019 yang menyatakan akan memilih Prabowo seandainya Pilpres dilakukan saat ini.

Lalu beberapa pihak pun menyebut salah satu alasan Prabowo tidak bisa menang karena alasan kekecewaan pendukungnya terhadap keputusan Prabowo bergabung ke dalam koalisi pemerintah Jokowi.

Survei Nasional SMRC tersebut dilakukan melalui wawancara per telepon kepada 1202 responden yang dipilih secara acak (random) pada 23-26 Desember 2020 dengan Margin of error sekitar 2,9%.

Pertama, Setiap lembaga survei jelas memiliki metodologi ilmiah dan cara perhitungannya masing-masing. Tetapi Pilpres 2024 masih sangat jauh. Survei hanyalah potret saat survei dilakukan.

Akurasinya tergantung banyak hal, yaitu: waktu survei tersebut dilakukan, bukan ketika  kapan survei itu dipublikasikan. Itu sebab dalam setiap publikasi survei selalu ada ‘magic words’, yaitu “Jika Pilpres dilakukan hari ini…..”.

Kemudian juga pula margin error yang menunjukkan persentase plus minus dari hasil survei tersebut. Artinya, jika Ganjar Pranowo (15,7%) unggul dengan selisih 0,8% dengan Prabowo (14,9%), maka itu bukan berarti Ganjar Pranowo pasti juara ketimbang Prabowo, karena masih dalam ambang kesalahan survei sebesar 2,9%.

Fakta bahwa sosok Prabowo selalu berada di tangga tiga besar popularitas dan elektabilitas dari berbagai survei sejak sepuluh tahun terakhir justru menunjukkan sosok Menhan ini tetap berada di hati masyarakat. Lain halnya jika nama Prabowo berada di lantai dasar dari hasil survei yang di rilis.

Kedua, karena faktor jarak Pilpres 2024 yang masih jauh, survei politik di tengah pandemi Covid-19 sebenarnya kurang bisa dijadikan pegangan untuk meneropong pemilihan presiden yang akan datang.

Benar bahwa tehnik survei mewancarai responden di masa pandemi Covid-19 “by phone” diakui lebih aman dan sesuai asas protokol kesehatan. Tetapi mengandalkan jawaban responden via telepon bisa sangat bias.

Ketika seseorang ditanya pendapat soal kepala daerah oleh orang yang tidak dikenal, maka orang tersebut cenderung akan memberikan jawaban yang sesuai dengan yang diinginkan surveyor, dengan harapan bahwa itu akan memberikan kesan yang baik.

Dalam kondisi pandemi, orang cenderung berhati-hati dalam mengungkapkan pendapatnya atau preferensi politiknya. Bisa saja kuatir nggak dapat Bantuan Tunai Langsung, misalnya. Sekalipun orang yang ditanya itu tahu bahwa tokoh daerah tersebut mengaku suka menonton video porno atau pernah dipanggil KPK sebagai saksi terkait kasus korupsi e-KTP.

Ketiga, banyak faktor X yang nanti bisa mempengaruhi seseorang bisa maju atau tidak. Kendaraan politik, perubahan isu dan momentum, dan manuver elit di injury time bisa membuat ambyar segala prediksi politik saat ini. Seperti munculnya kemungkinan skenario duet Prabowo-Ganjar.

Skenario ini bisa saja terjadi jika nanti mendapat restu dari Megawati, disetujui Prabowo dan diendorse oleh Presiden Jokowi. Prabowo sendiri dalan kongres luar biasa (KLB) Agustus 2020 Gerindra, sudah diamanahkan untuk maju di Pilpres 2024 oleh DPC dan DPD.

Syarat pencapresan biasanya diminta oleh kader, sehat jasmani, dan tentu punya elektabilitas. Jika Capresnya relatif tua, terpenting bisa didampingi cawapres yang enerjik, lebih muda dan meningkatkan elektabilitas paslon, bukan menurunkan. Faktor lain yang juga penting adalah dukungan dari negara besar seperti AS, Rusia, Tiongkok, dll.

Sebagai Menhan, Prabowo punya kelebihan untuk bertemu tokoh-tokoh luar negeri yang berpengaruh. Pasca diterimanya Menhan Prabowo Subianto berkunjung ke AS kemarin tentu dapat meningkatkan political standing dan repositioningnya dalam konfigurasi politik di Indonesia jelang 2024 daripada sebelumnya.

Keempat, belum tentu ada pengaruh signifikan jika Prabowo tidak lagi disupport oleh kelompok muslim yang dulu mendukungnya di Pilpres 2019. Pemilih di Indonesia di 2024 akan lebih cair dari pemilu sebelumnya, karena kaum milenial akan lebih mendominasi data pemilih.

Memang pemilih muslim adalah mayoritas, tetapi fakta menunjukkan bahwa pada kontestasi pemilu semua kandidat juga akan didukung oleh komunitas muslim. Bahkan Jokowi maju di Pilpres 2019 juga dengan menggandeng tokoh NU, Ma’ruf Amin.

Pengalaman dari Pilpres menunjukkan bahwa komunitas pemilih muslim tidak pernah terkonsentrasi pada satu pasangan kandidat saja, tetapi pada semua pasangan calon.

Perlu di telusuri dan diverifikasi apakah pendukung Prabowo yang kecewa kepada mantan Danjen kopassus tersebut karena masuk koalisi istana atau pada dasarnya memang mereka anti terhadap pemerintah saat ini. Bukankah ketika Prabowo memilih bergabung dengan Jokowi, seharusnya para pendukungnya bersatu padu?

Terakhir, dari sisi pengalaman dan faktor elektoral bukanlah alasan yang pas untuk mengatakan bahwa secara definitif Prabowo Subianto pasti kalah jika maju lagi sebagai capres 2024. Publik sebenarnya sudah bisa memahami realitas bahwa selalu ada ‘ hiden agenda setting’ yang berupaya menjegal atau berupaya menghalangi langkah Prabowo untuk maju di Pilpres 2024 nanti.

Sama halnya ketika tahun 2013 elektabilitas dan popularitas prabowo paling tinggi dari semua survei sampai dimunculkannya figur kepala daerah yang sekarang menjadi Presiden RI dua periode.

Skenario politik bisa sukses pada satu kurun waktu tertentu, tetapi belum tentu berhasil dilakukan untuk yang kedua kalinya dengan pola yang sama. Justru momentum dan fenomena politik terakhir yang marak dan layak disimak adalah bahwa faktor usia bukan halangan seseorang untuk ikut berkompetisi di Pemilu merujuk pada kasus kemenangan Mahatir Muhamad (Pemilu Malaysia) yang berusia 95 tahun atau Joe Biden (Pilpres AS) dengan usia 78 tahun.

Politik butuh kematangan dalam prakteknya. Pengalaman kerap mengajarkan bahwa Presiden yang usianya muda sekalipun tampak bagus dan berintegritas, tetapi pada kenyataannya sering menjadi boneka.

Igor Dirgantara, Dosen Fisip Universitas Jayabaya.