News  

Demokratis Di Tengah Kapitalisme Politik, Rizal Ramli: Indonesia Contoh Sistem Bandar Ala AS

Bagaimana menjadi Demokratis di tengah kapitalisme politik? Maka kemudian pertanyaanya adalah bagaimana nasib kaum aktivis yang tidak kuat secara ekonomi? Pertanyaan itulah yang mengganggu pemikiran mantan aktivis yang kini telah menjadi tokoh nasional sekaligus begawan ekonomi DR. Rizal Ramli.

Ekonom senior ini membayangkan partai politik di Indonesia seperti partai politik di negara Eropa, Australia dan New Zealand yang dibiayai oleh negara. Karena itu, partai politik di negara itu benar-benar bekerja untuk mengusahakan kesejahteraan masyarakat.

Mantan Menko Perekonomian Kabinet Persatuan Nasional itu mengatakan, Indonesia sebenarnya bisa mencontoh dari negara-negara tersebut yakni dengan menyediakan keuangan atau budget untuk membiayai partai politik.

“Parpol dibiayai negara seperti di Eropa, Australia dan NZ. Sehabis perubahan, kita siapkan Budget 30 Triliun per tahun. Jadi tidak perlu bandar/cukong, sehingga Legislatif dan Eksekutif ngabdi untuk rakyat, bukan cukong.” tuturnya.

Dia mengatakan, akibat pembiayaan partai politik oleh negara, – bukan cukong – negara Eropa, terutama Skandinavia, memiliki rakyat dengan tingkat kesejahteraan sosial, pendidikan dan ekonomi, dan indeks kebahagian lebih tinggi dari Amerika, yang pembiayaan politiknya menganut sistem bandar.

Mantan Menko Kemaritiman Kabinet Kerja itu mengatakan, Indonesia mengambil contoh dari sistem bandar ala Amerika Serikat, tetapi tidak ada “Law Enforcement” dan lembek terhadap korupsi. Di Amerika Serikat, katanya, negara itu menerapkan hukuman berat kepada pelaku korupsi.

“Kita mencontoh sistem bandar ala Amerika, tetapi tidak ada `Law Enforcement` dan lembek terhadap korupsi. Amerika ada `Rule of Law` dan hukum berat pelaku korupsi. Kita nyontek sistem bandar, tanpa `Rule of Law` dan lembek terhadap koruptor. Hasilnya ambyar dan amburadul. Rakyat dibuat miskin secara struktural,” ujarnya.

Memang saat ini negara sudah membiayai partai politik namun dengan budget yang masih sangat kurang. Karena itu, partai politik masih harus mencari penghasilan tambahan dengan membancak keuangan negara. Maka, tak heran jika para politisi di Indonesia seperti berlomba-lomba melakukan korupsi.

“Hari ini, walaupun dibiayai sedikit oleh negara, anggaran yang ‘hilang’ di tingkat DPR, DPRD tingkat 1 dan 2 sangat besar. Tapi yang masuk kas partai hanya sebagian kecil, sisanya masuk kantong-kantong pribadi (ngakunya sih buat kas partai),” ujarnya.

Sebenarnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga sudah memberi rekomendasi kepada pemerintah agar menambah budget untuk membiayai partai politik.

Dengan demikian, partai politik tidak perlu lagi mencari dana tambahan lain untuk membiayai partai politik. Mereka hanya fokus pada tugas dan fungsi partai antara lain, melakukan kaderisasi dan rekrutmen politik sehingga bisa menghasilkan pemimpin, baik pada tingkat lokal maupun tingkat nasional yang benar-benar berkualitas.

Namun, yang terjadi, rekomendasi KPK itu tidak pernah diikuti secara serius. Karena itu, kita bisa menyaksikan terus aksi tangkap tangan KPK terhadap para politisi maupun para pejabat.

Rizal Ramli mengatakan bahwa inilah buah dari demokrasi kriminal yang diterapkan di negara ini. Karena itu, dia juga meminta untuk menghapus threshold, yang sebenarnya tidak ada dalam UUD kita.

Hasil dari demokrasi kriminal adalah di setiap level terpilih pemimpin KW2-KW3 dan banyak yang maling pula lagi (terbukti ratusan ketangkap KPK). Mari kita ubah demokrasi kriminal menjadi demokrasi bersih dan amanah dengan cara hapuskan threshold (yang tidak ada di UUD, tapi MK ngeyel).