Gara-Gara Impor, 20 Ribu Ton Garam Industri di Sabu Raijua NTT Tak Laku Dijual

Sebanyak 20.000 ton garam industri asal Kabupaten Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur (NTT), hingga saat ini belum juga terjual. Akibatnya, semua garam tersebut disimpan dan menumpuk di sejumlah gudang yang tersebar di 12 lokasi berbeda.

Hal itu disampaikan Sekretaris Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu, Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Sabu Raijua, Lagabus Pian kepada Kompas.com melalui sambungan telepon, Minggu (21/3/2021) pagi.

Pian menyebut, 20.000 ton garam itu tersebar di 10 desa pada lima kecamatan di wilayah itu.

Menurut Pian, stok garam yang diproduksi sejak tahun 2018 pun masih ada yang tersisa, sehingga hanya disimpan di gudang milik para petani. “Itu dampak kebijakan impor waktu itu,” ungkap Pian.

Pian menyebut, pada tahun 2018 harga garam cukup tinggi, namun mulai kebijakan impor berlaku, harga anjlok dan pembeli tak lagi membeli garam dari Sabu Raijua.

Kondisi itu berlanjut hingga tahun 2019 dan 2020 serta 2021. “Harga jual kami dari 700 per kilogram dijual 500 per kilogram. Itu terpaksa dilakukan, karena hasil produksi sudah tidak bisa tertampung dalam gudang yang ada,” ujar Pian.

Di Kabupaten Sabu Raijua, terdapat 107 gudang penampung garam, dengan kapasitas masing-masing gudang itu 150 ton.

Melihat kondisi itu lanjut Pian, pada 19 Agustus 2020 lalu, pemerintah daerah Kabupaten Sabu Raijua telah bersurat ke Presiden Joko Widodo. Surat itu ditandatangani oleh mantan Bupati Sabu Raijua Nikodemus Rihi Heke.

Dalam surat itu, tertulis jelas upaya pemerintah setempat untuk pemulihan ekonomi melalui tambak garam yang dikelola masyarakat akibat dampak pandemi Covid-19.

Nasib garam Sabu Raijua, pembeli tak datang, harga anjlok
Produksi garam di Sabu Raijua mulai dilakukan sejak tahun 2015 lalu dengan luas lahan 102 hektar.

Garam yang dihasilkan dari tambak geomembran di Sabu Raijua adalah garam industri (kasar) kualitas super dengan kadar NaCl 96,20 persen. “Kualitas garam itu, merupakan hasil uji Laboratorium Baristand Surabaya,” kata Pian.

Pian menjelaskan, jumlah garam yang dihasilkan setiap bulannya yakni 2.000 ton. Kebijakan impor garam pada 2018 lalu kata dia, berdampak buruk pada penjualan garam lantaran pembeli tak lagi datang ke Sabu Raijua untuk membeli garam.

Sebelum tahun 2018, harga garam di Sabu Raijua per kilogram dijual mulai Rp 1.200 hingga Rp 1.500. Namun, hingga saat ini harga anjlok menjadi Rp 500 hingga Rp 700 per kilogram.

Kemudian pada tahun 2019 garam yang terjual hanya 1.200 ton dari total produksi 8.500 ton.

Kondisi itu diperparah lagi dengan pandemi Covid-19 pada awal 2020 lalu, semua kapal pengangkut garam tidak beroperasi, termasuk juga industri garam tidak beroperasi optimal.

“Dampaknya, penjualan garam dari Sabu Raijua ke Pulau Jawa berhenti total,” kata Pian.

Pian mengatakan, saat ini semua gudang yang ada di Sabu Raijua tidak lagi menampung garam, sehingga terpaksa disimpan di luar dengan ditutupi terpal.

“Pemerintah daerah berharap dapat bekerjasama dengan industri-industri yang menggunakan garam dengan mutu terbaik dalam jangka waktu menengah dan panjang sehingga produksi garam tidak menumpuk yang tentu akan ada biaya tambahan untuk penyimpanan,” kata dia.

Sebelumnya diberitakan, sejumlah petani garam di Kabupaten Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur (NTT), menyayangkan kebijakan pemerintah pusat yang mengimpor garam dari luar negeri.

“Puluhan ribu ton garam di wilayah kami NTT nganggur, kenapa pemerintah pusat mesti impor lagi garam dari luar negeri. Kami sangat kecewa,” ungkap Koordinator Petani Garam Kecamatan Raijua, Barnabas Nite (40), saat dihubungi Kompas.com melalui sambungan telepon, Sabtu (20/3/2021).

Menurut Barnabas, khusus di Kecamatan Raijua, terdapat ribuan ton garam yang masih ditumpuk di 20 gudang. Bahkan kata dia, saking penuhnya garam menyebabkan gudang penyimpanan menjadi jebol.

Akibatnya banyak garam yang sudah di-packing di karung akhirnya berserakan di luar.

“Kebijakan pemerintah impor garam, ini sangat merugikan kami para petani garam. Kami tidak bisa jual lagi dan ini jadi beban buat kami yang kerja garam. Ini bukan hanya susah saja tapi setengah mati,” keluhnya. {kompas}