News  

Mengendus Aroma Kartel dan Monopoli Di Balik Rugi Rp.5,4 Triliun Para Peternak Ayam

Aroma kartel dan monopoli terendus pada bisnis peternakan ayam. Para peternak mandiri menduga praktik itu terjadi pada penjualan bibit anak ayam (Day Old Chicken/DOC). Hal ini pun langsung disampaikan ke Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).

Ketua Paguyuban Peternak Rakyat Nusantara (PPRN) Alvino Antonio menjelaskan telah terjadi kartel penentuan harga pada tingkat breeding farm alias peternakan bibit ayam. Alvino menilai bahwa harga DOC selalu sama dijual oleh berbagai breeding farm.

Dia menyimpulkan harga yang ditawarkan ini seolah dimainkan beberapa pihak, oleh karena itu dia menduga ada praktik kartel yang terjadi dalam penentuan harga DOC.

“Kita laporkan ini ada dugaan kartel, di penjualan bibit anak ayam, ini harganya selalu kompak. Harganya selalu sama, baik saat masih rendah dan tinggi tetap sama. Karena itu harga selalu sama, saat ini range-nya itu Rp 7.500 per ekor, selalu sama harga itu,” ujar Alvino ditemui di Kantor KPPU, Jakarta Pusat, Senin (22/3/2021).

Masalahnya, harga yang dia sebut kartel ini sekarang sudah sangat jauh dari harga acuan yang ditetapkan pemerintah. Dia menjelaskan harga acuan Kementerian Perdagangan berada di Rp 5.000-6.000 per ekor.

“Harga DOC ini jadi diatur nggak wajar, padahal acuan Kemendag kan Rp 5.000 sampai Rp 6.000, ini kenyataannya bisa sampai Rp 7.000,” papar Alvino.

Selain melaporkan adanya praktik kartel dalam penentuan harga DOC, Alvino juga menilai pembagian DOC dari breeding farm kurang adil. Menurutnya, banyak petani rakyat mandiri sepertinya tidak bisa mendapatkan bibit ayam.

Menurutnya, para peternakan penjual bibit anak ayam tidak menjual bibit anak ayam sesuai dengan ketetapan.

Dalam aturan yang dibuat Kementerian Pertanian, dia mengatakan breeding farm wajib menjual bibit setidaknya 50% ke peternakan rakyat. Sisanya bisa dijual ke perusahaan afiliasinya atau peternak integrator.

Namun kenyataannya, Alvino menilai saat ini kebanyakan breeding farm menjual DOC lebih banyak ke peternakan yang merupakan afiliasinya dibandingkan ke peternakan eksternal. Hal ini menurutnya merupakan praktik monopoli dan menimbulkan kelangkaan bibit anak ayam.

“Jadi breeding farm itu prioritaskan DOC-nya ke kendang internal dan afiliasinya mereka. Padahal Kementan atur breeding farm harus 50% jual ke eksternal bukan cuma kemitraan,” ujar Alvino.

Berapa kerugian yang ditimbulkan dari praktik-praktik kartel yang diduga terjadi bagi para peternak?

Peternak ayam mandiri mengaku telah merugi selama dua tahun akibat adanya dugaan praktik kartel harga DOC. Kerugian disebut sudah mencapai Rp 5,4 triliun.

Sekjen Perhimpunan Peternak Unggas Nusantara (PPUN) Kadma Wijaya mengatakan kerugian itu disebabkan oleh adanya kartel harga DOC. Dia menilai harga DOC disepakati untuk dibuat mahal.

Dengan harga DOC yang mahal dia menilai hal ini membuat harga pokok produksi ayam potong alias livebird menjadi bengkak. Sementara harganya tidak bisa dinaikkan dan harus mengikuti mekanisme pasar yang diatur pemerintah.

“Mahalnya harga DOC ini berdampak pada saat panen, HPP yang terjadi kan lebih tinggi, sementara harga kan ikut pasar. Belum lagi, kalau supply banyak harga pasti turun. Ini lah mengapa peternak rugi 2 tahun nilainya Rp 5,4 triliun,” ujar Kadma.

“Ini yang kita tuntut, apa yang mesti diberikan kepada kerugian ini selama 2019-2020,” ujarnya.

Alvino pun juga ikut menjelaskan soal bagaimana kerugian terjadi dengan adanya praktik kartel. Dia menyebutkan harga livebird alias ayam potong cuma dipatok Rp 19.000 per ekor.

Harga itu dipatok dengan mempertimbangkan DOC di harga paling mahal Rp 6.000. Artinya bila DOC berada di harga RP 7.000 per ekor, harga ongkos produksi ayam potong yang dijual juga membesar.

“Livebird acuannya itu Rp 19.000 dasar perhitungannya dengan harga DOC Rp 6.000. Nah kalau DOC ini bisa Rp 7.000 harganya ya rugi lah kita, HPP-nya bertambah,” ungkap Alvino. {detik}