News  

PKI Benci Wahabi dan Salafi

Pengunjukrasa yang mengatasnamakan dirinya Gerakan Bela Negara (GBN) berunjukrasa di depan Balaikota, Malang, Jawa Timur, Senin (17/8). Mereka menolak upaya rekonsiliasi pemerintah dan keluarga anggota PKI. ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto/ama/15.

Pluralisme pemahaman keagamaan adalah hal yang wajar sepanjang berbasis pada sumber nilai Al Qur’an dan Al Hadits. Bila sudah keluar dari kedua nilai tersebut maka berlaku interelasi antar agama.

Dalam beragama yang sama tetapi meyakini dan mendakwahkan bahwa Al Qur’an tidak orisinil seperti faham Syi’ah atau ada Nabi setelah Muhammad SAW seperti Ahmadiyah, maka itu dikategorikan menyimpang atau sesat. Bahkan bisa disebut menodai agama.

Wahabi adalah pengikut Syekh Abdul Wahab yang menjadi dasar pemahaman keagamaan yang berkembang di Saudi Arabia. Bersumber dari madzhab Hambali. Salah satu pijakan madzhab utama selain Syafi’i, Hanafi, dan Maliki.

Sementara Salafi itu adalah pengikut ulama terdahulu, ulama Salaf. Bukhori, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An Nasa-i adalah sebagian dari ulama salaf. Tentu Salafi memiliki cabang pemahaman yang tidak satu pula.

Benci pada Wahabi dan salafi sama saja dengan benci pada yang berbau Arab dan itu artinya benci pada daerah dimana Islam lahir dan tumbuh. Tempat Nabi Muhammad dan para Sahabat mengembangkan agama Islam di masa awal hingga agama yang hanif ini diterima dan dijalankan di Indonesia.

Benci Arab atas nama nasionalisme, kulturisme, atau etnosentrisme sesungguh adalah kebencian yang bukan saja tidak berdasar tetapi juga wujud dari kejahilan radikal.

Adalah PKI yang anti Arab dan pro Cina atau Rusia. Anti agama dan pro komunisme-materialisme. PKI yang menyebut hal berbau Arab dan Islami sebagai Kadrun sebutan sinis untuk Kadal gurun.

PKI itu lebih dalamnya dipastikan anti Wahabi dan anti Salafi. Menuduh dan memfitnah agama sebagai candu yang harus dijauhi. Inilah perjuangan revolusi mental PKI yang hakekatnya mengindikasi gangguan mental.

Jika ada sebagian kaum Wahabi atau Salafi yang menyimpang maka itu adalah oknum. Demikian juga dengan yang mengklaim Ahlus Sunnah wal Jama’ah lalu menyimpang itu juga oknum. Harus diluruskan bukan dibenci apalagi dibasmi. Dimusuhi dan dituduh ini dan itu. Berlebihan jika menyebut Wahabi atau Salafi sebagai pintu masuk terorisme.

Terorisme bisa masuk dari tradisionalisme, konservativisme, modernisme, materialisme, liberalisme, dan lainnya. Banyak faktor penyebabnya baik ekonomi, doktrin keagamaan, hingga permainan politik jahat yang merekayasa dalam rangka adu domba. Stigmatisasi yang dibangun untuk meracuni fikiran jernih dan kohesivitas.

PKI dahulu dan kelompok “PKI” kini memainkan siasat memecah belah umat dengan memojokkan faham keagamaan tertentu. Serangan pada Wahabi dan Salafi menjadi arus utama. Ini menjadi bola mainan PKI yang sangat digemari dan dinikmati demi menciptakan hantu radikalisme, ekstrimisme, maupun fundamentalisme.

Wahabi dan Salafi bukan pintu masuk terorisme, pengikutnya yakin seperti pengikut faham keagamaan lain dalam Islam bahwa memahami agama seperti ini menjadi jalan untuk masuk Surga. Keyakinan karena menjalankan Al Qur’an dan Sunnah Rosul.

Pintu masuk terorisme dapat juga dari dogmatisme, aroganisme, sinisme dan fulusisme. Yang terakhir ini adalah makna bahwa teror yang dilakukan itu sangat berhubungan dengan bantuan keuangan untuk diri dan keluarga. Atau paket proposal untuk proyek strategis. Termasuk biaya untuk mengarang cerita. Fulusisme dapat berskala nasional atau internasional.

PKI yang berprinsip menghalalkan segala cara demi tujuan tercapai, akan menjadikan aspek keagamaan sebagai permainan. PKI telah membuktikan dalam sejarahnya sebagai partai teroris. Baginya Wahabi dan Salafi ringan saja dapat dijadikan bahan semburan fitnah. Demi sukses mencapai tujuan.

Sukses klaim kebenaran, sukses membuat hantu, sukses memperoleh dana operasional dan fee kesuksesan.

Fulusisme adalah terorisme yang paling berbahaya dan berdaya ledak tinggi.

Bandung, 3 April 2021
M. Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan