News  

Anggaran Darurat Bencana Yang Bukan Hanya Sedikit Tapi Pakai ‘Banget’

Bagaimana tidak heran, untuk salah satu kabupaten di Nusa Tenggara Timur (NTT), dana daruratnya cuma Rp,750 juta dalam DAU TA 2021. Apalagi, daerah tersebut, rentan bencana; gempa bumi dan lainnya. Cuma 0,06% dari APBD-nya sebesar Rp. 1,2 triliun.

Saya diberitahu seorang teman melalui private messenger. Dan saya pun baru tahu angka demikian. Untuk mitigasi risiko suatu kondisi force majeure, seumpama bencana alam atau suatu wabah, uang Rp.750 juta untuk daerah kepulauan dengan jumlah penduduk di atas 200 ribu itu tiada arti.

Yang saya pikirkan adalah bagaimana caranya angka Rp.750 juta itu muncul? Barang tentu tidak ujuk-ujuk muncul. Setidaknya memperkirakan faktor-faktor kondisi darurat musiman di daerah. Seperti bencana banjir atau badai dengan aneka namanya. Demikian juga gempa bumi dan bencana lain. Berikut level of difficulty daerahnya. Masing-masing ada risiko dan angka.

Bila bencananya ekstrim, dengan aneka dampak ekonomi dan sosial, barang tentu ada proyeksi kebijakan diikuti dengan politik anggarannya. Anggaran mengikuti fungsi. Yang saya pikirkan, sekali lagi, bagaimana cara angka Rp.750 juta direken dan muncul

Daerah mana dimaksud? Rahasia. Yang tahu pagu dengan nominal sekian, sadar diri saja. Setidaknya saling mendilak, daerah mana kira-kira? Singkat cerita, fungsi alokasi dan politik anggaran, merefleksikan kemampuan tingkat pemahaman kepala daerah terhadap kondisi daerah dalam arti seluas-luasnya dan dalam arti sempit.

Barang tentu, alokasi DAU itu skema transfer pusat, tapi tidak ujuk-ujuk nongol dalam nomenklatur DAU suatu daerah. Dia ada dalam beleid usulan program daerah. Menteri keuangan dalam hal ini Dirjen Perimbangan Keuangan, tinggal teken dan dicantum dalam DIPA.

Tentu dengan sedikit analisa. Tapi kalau daerah butuh angka demikian, sudah pasti diteken dengan perasaan senang sentosa. Perkara cukup atau tidak bila suatu kondisi force majeure tidak urus, apalagi ambil pusing. Apalagi pemerintah pusat pun tengah mengencangkan ikat pinggang.

Singkat cerita, manakala terjadi suatu kondisi force majeure, seumpama bencana alam yang tak terkira, apapun, maka otomatis kepala daerahnya hilang akal. Harus punya dana taktis untuk penanganan dampak bencana dengan spektrum yang luas secara ekonomi dan sosial.

Lalu apakah dana taktis itu bisa dicomot secara sembro dari pos belanja lain? Tentu mustahil. Karena setiap pos belanja, sudah punya standpoint-nya dalam regulasi Perda APBD.

Kendatipun dicomot, mesti ada urung rembuk bersama DPRD. Urusannya jadi bertele-telah sementara pasca bencana, butuh penanganan cepat, jika tak ingin efek rusaknya meluas.

Lantas cukupkah Rp.750 juta untuk kondisi force majeure satu kabupaten? Sudah tentu tidak. Apalagi force majeure dimaksud adalah bencana alam seperti bencana gempa atau banjir dengan dampak rusak yang dahsyat.

Tentu spektrum dampaknya luas. Mulai dari kebutuhan darurat masyarakat hingga rehabilitasi infrastruktur ekonomi dan sosial pasca bencana untuk jangka pendek. Anggarannya juga besar. Makna daerah mesti siaga dengan program dan anggaran yang sepadan.

Kalau begitu, alternatifnya adalah menunggu keputusan pemerintah pusat, untuk menetapkan darurat bencana. Tentu dengan berbagai pertimbangan bertele-tele. Menetapkan kondisi darurat itu tersusun dari klausul demi klausul. Di dalamnya ada perdebatan. Tak peduli berapa nyawa yang sudah melayang sia-sia.

Apalagi kondisi seperti sekarang, dimana keuangan negara tengah seret. Kebijakan darurat bencana, tentu diikuti dengan anggaran. Bukan surat kosong. Maka tambah bertele-tele pula urusannya.

Meski bencana di NTT terjadi secara masif dari pulau Timor, Sumba, Flores dan Alor. Efek rusaknya juga masif. Namun kondisi darurat bencana, belum juga ditetapkan. Apa hal?

Meski kepala daerah itu rata-rata orang pintar pula hebat, namun belajar mengambil hikmah itu bisa dari mana saja. Termasuk dari alam, yang memberikan pelajaran secara cuma-cuma tanpa pungut sepeserpun. Daerahnya rentan bencana, tapi anggaran darurat bencana seuprit, itu juga hikmah.

Abdul Hafid Baso, Pengamat Sosial Politik