Mangkraknya Elektabilitas Jokowi Sebagai Petahana

Elektabilitas Jokowi

Dalam survei SMRC tentang kekuatan partai politik dan calon presiden 2019, elektabilitas Jokowi peroleh hasil dukungan 38,9 %, Prabowo 10,5 %. Selanjutnya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) 1,4 %, Gatot Nurmantyo 0,8 %, dan Anies Baswedan 0,5 %. Dibanding September 2017, Jokowi stagnan pada 38,9 %, sementara Prabowo turun dari 12,0 % ke 10,5 %.

Fenomena menarik adalah, turunnya dukungan pada Prabowo, tak berdampak pada bertambahnya dukungan terhadap Jokowi. Sebaliknya, trend mereka yang undecided dan dukungan terhadap capres lain, grafiknya bergerak positif.

Dari survei SMRC, dapat dibaca, bahwa undecided voters cukup tinggi; yakni 47%. Sementara, elektabilitas Jokowi sebagai petahana mangkrak dan menimbulkan kecemasan luar biasa terhadap orang-orang di sekitar Jokowi. Survei lain pun memberikan gambaran yang sama. Tontonan menarik di tribun Gelora Bung Karno saat penyerahan piala presiden 2018, adalah bagian dari kecemasan yang tanpa sengaja tersingkap menjadi tontonan politik.

Hal menarik adalah, mangkraknya elektabilitas Jokowi dan menurunnya dukungan pada Prabowo serta capres lainnya, justru menambah tingginya undecided voters. Artinya, masyarakat yang bimbang terhadap petahana Jokowi (terutama) dan capres lainnya masih tinggi.

Lebih keras lagi menurut Dr.Rocky Gerung (akademisi UI), dukungan terhadap Prabowo, Anies, Gatot dan capres lainnya, juga merupakan undecided terhadap Jokowi sebagai petahana. Jadi jika dibaca secara keseluruhan dari survei SMRC, maka Jokowi sebagai capres petahana, berhadapan dengan 61% undecided voters terhadapnya. Untuk ukuran petahana, ini lampu kuning !

Lalu kenapa undecided voters ini dibaca secara via a vis terhadap Jokowi? Alasannya, sebagai petahana, dengan segala tolak ukur keberhasilan dan pencitraan yang dilakukannya, figur Jokowi belum mampu menarik dan memperkecil undecided voters.

Dengan demikian, tingginya undecided voters dalam berbagai survei, adalah konfirmasi dari lemahnya figuritas Jokowi untuk menarik dukungan dari kelompok masyarakat yang belum menentukan pilihan ke capres manapun.

Terkait hasil survei ini, kita perlu membaca di luar mainstream. Dimana, sebagai petahana,bila Jokowi berhadapan dengan undecided voters yang cukup tinggi, yaitu 47%, itu artinya, berbagai kartu pencitraan yang telah dikeluarkan Jokowi, gagal menarik dan menekan tingginya undecided voters.

Perlu di-underline, bahwa rata-rata undecided voters ini datang dari kalangan kelas menengah ke atas; atau mereka yang terkategori pemilih cerdas/kritis. Pada Pilgub DKI 2017, 13% undecided voters adalah mesin penentu kemenangan Anies-Sandi. Dan Ahok sebagai petahana terluluhlantakan dengan undecided voters yang menentukan pilihan di ujung waktu karena momentum dan isu.

Hipotesisnya, bila dukungan terhadap Jokowi terus mangrak, dan undecided voters terus meningkat, maka hal tersebut kian menggeser Jokowi ke tubir ancaman politik. Hanya menunggu momentum politik dan isu strategis. Seturut itu, ancaman lain terhadap Jokowi yang perlu dibaca secara asimetris adalah, secara evolutif, dukungan terhadap kandidat capres lain seperti Anies Baswedan atau Joko Nurmantyo terus menunjukkan trend positif.

Saat ini, pembangunan infrastruktur, menjadi mesin yang diharapkan dapat memproduksi elektabilitas jokowi sebanyak mungkin. Pembangunan infrastruktur diharapkan dapat menghasilkan surplus elektabilitas politik petahana.

Disaat yang sama, perolahan utang untuk pembangunan (fisik), dalam perbincangan publik, potensial, memperburuk neraca keuangan negara. Utang LN sudah mendekati mendekati 5 ribu trilun rupiah. Rasio utang LN terhadap PDB pun potensial meningkat.

Wacana-wacana seperti ini, rutin menjadi perbincangan publik kelas menengah ke atas yang paling banyak berkontribusi terhadap undecided voters. Hal lain; terfragmennya masyarakat dalam faksi-faksi politik yang semakin mengemuka juga menjadi penghadang Jokowi. Khususnya, mayoritas kelompok Islamis berbasis perkotaan yang masih loyal dan konsisten pada isu dan gerakan yang vis a vis terhadap Jokowi dan kelompoknya.

Minggu-minggu ini, diskurus media tentang siapa pendamping Jokowi menjadi headline. Bukan tak mungkin, pasang-bongkar cawapres Jokowi yang viral di media mainstream, adalah bagian dari mitigasi politik untuk mengatrol elektabilitas Jokowi. Di dalamnya ada rangkaian politik yang hendak disambungkan. Terutama merangkai kelompok islamis urban yang masih asimetris secara politik dengan Jokowi.

Dalam artikelnya, di Asia Times (7/2/2018) berjudul : Widodo Steams Towards Easy Second Term, wartawan senior; John Mcbeth menulis, Jokowi sangat mempertimbangkan Kandidat cawapres dengan citra Islam yang kuat. Kekalahan Ahok-Djarot pada Pilkada DKI 2017, menurut Mcbeth, adalah konfigurasi politik yang menggambarkan kemenangan koalisi Islam konservatif.

Koalisi Islam konservatif ini dipertimbangkan Jokowi sebagai kekuatan politik potensial yang bisa menghadangnya di pilpres 2019. Mungkin juga, ini menjadi salah satu cara Jokowi memitigasi ancaman bangkitnya undecided voters jelang pilpres 2019. Wallahu’alam

Ditulis Oleh: Abdul Hafid Baso