Tanpa pikir panjang, tiba-tiba DP BPIP; Profesor Megawati mengucapkan selamat atas 100 tahun berdirinya PKC/ Partai Komunis China. Apa digaji Rp.100 juta dari uang rakyat buat omong begitu-begitu doang?
Ya, tiada yang menafikan, bila Pancasila sebagai ideologi terbuka. Tapi saking terbukanya itu, tidak sama dengan bugil. Inklusivitas Pancasila ada pada kesamaan prinsip-prinsip kesetaraan dan kemanusiaan.
Apa ibu profesor plus DP BPIP ini tak punya empati atas pemberangusan secara sadis terhadap etnis muslim Uighur oleh rezim komunis Xi Jinping? Jelas-jelas; dehumanisasi itu bertentangan dengan prinsip-prinsip universal Pancasila dan UUD 1945, yang mana profesor Mega sebagai orang yang digaji negara/bulan Rp.100 juta untuk urus Pancasila dan UUD 1945.
Sebagai DP BPIP, seyogyanya profesor Megawati mafhum, bahwa TAP MPR tentang larangan ajaran komunis itu belum hilang atau diamandemen. Dengan demikian, biar kaki jadi kepala, kepala jadi kaki, pun tiada tempat bagi paham komunis.
Ibarat kata, komunis itu pernah hendak MEMBEGAL PANCASILA. Sebagai DP BPIP, ibu profesor mesti tahu sejarah itu. Dan ditempatkan di palung hati sebagai kencahnya sejarah ideologi bangsa. Pasal komunis membegal Pancasila itu tercatat lengkap hari, tanggal, bulan, tahun pun jam, menit dan detiknya.
Ihwal komunis membegal Pancasila itu telah menimbulkan trauma yang dalam bagi kehidupan bernegara kita. Memakan korban banyak. Maka luka lama itu jangan dikorek-korek, bila tak ingin infeksinya lebih parah.
Tapi emang itulah tabiat dasar, beliau pun dalam beberapa pidatonya hendak mengacak-acak Pancasila dengan Ekasila atau apalah itu. Dia obok-obok struktur nilai dari Pancasila.
Digeserlah sila ketuhanan dari posisinya sebagai sentrum daripada ideologi Pancasila. Sebagaimana proyek ideologi dalam RUU HIP. Pada pasal 7 RUU HIP ini, dimensi “ketuhanan” menjadi sub sistem nilai yang setara dengan kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan/demokrasi politik dan ekonomi.
Padahal, sejatinya, kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan/demokrasi politik dan ekonomi adalah refleksi dari nilai-nilai “ketuhanan.” Sebagai fundamental value-nya. Jadi dia tidak equal secara konsepsinya. Sumber nilai dan akibat derivatif itu berbeda secara stand poin konsep.
Jadi barang ini jangan diplintir ke sana kemari. Karena ibarat kata, Pancasila ini menjadi suatu engagement atas KONTRAK SOSIAL POLITIK bangsa Indonesia. Kalau masih senewen dan sok-sokan mengutak atik PANCASILA, maka bisa berabe.
Teringat lah saya akan buku Anthony Giddens berjudul Beyond left and Right. Bahwa yang Komunis dan Kapitalisme global sama-sama telah menimbulkan duka kemanusiaan secara mondial. Beyond Left and Right, buat apa ibu profesor DP BPIP yth masih sok-sokan?
Abdul Hafid Baso, Pengamat Sosial Politik