News  

Komite Keamanan Obat Eropa: Vaksin Pfizer dan Moderna Berisiko Munculkan Peradangan Jantung

Komite Keamanan Obat Eropa (EMA) pada Jumat waktu setempat, memperingatkan bahwa vaksin virus corona (Covid-19) yang menggunakan platform mRNA dan diproduksi oleh Pfizer-BioNTech dan Moderna dapat dikaitkan dengan 321 kasus langka peradangan jantung.

Dikutip dari Sputnik News, Jumat (9/7/2021), EMA menyampaikan dalam rilis resminya bahwa mereka telah melakukan peninjauan pada 164 kasus radang otot jantung (miokarditis) dan 157 kasus radang lapisan luar jantung (perikarditis) terkait dengan penggunaan dua vaksin mRNA.

Gejala dari kedua kondisi tersebut diantaranya termasuk sesak nafas, nyeri dada dan jantung berdebar.

EMA mengatakan bahwa 145 kasus miokarditis telah diamati pada individu yang menerima vaksin Pfizer-BioNTech, sementara 19 kasus lainnya diantara orang yang menerima vaksin Moderna.

Selain itu, 138 kasus perikarditis diamati pada individu yang telah menggunakan vaksin Pfizer-BioNTech, bersama dengan 19 kasus yang terlihat setelah divaksinasi menggunakan vaksin Moderna.

“Komite merekomendasikan untuk mencantumkan miokarditis dan perikarditis sebagai efek samping baru dalam informasi produk untuk vaksin ini, bersama dengan peringatan untuk meningkatkan kesadaran di kalangan profesional kesehatan dan orang yang menggunakan vaksin ini,” sebut rilis resmi tersebut.

Perlu diketahui, secara total, ada 177 juta dosis vaksin Pfizer-BioNTech dan 20 juta dosis vaksin Moderna yang diberikan di Wilayah Ekonomi Eropa per 31 Mei lalu.

Inggris Pusing Tutup Perbatasan

Inggris saat menjadi salah satu negara yang turut babak belur dihantam virus corona (Covid-19), tidak hanya dari sisi kesehatannya saja, namun juga sektor bisnis.

Ada beberapa opsi yang sebenarnya bisa dilakukan negara itu dalama menekan laju penyebaran Covid-19. Termasuk menutup perbatasan secara penuh atau 100 persen demi menghindari penularan virus yang lebih massive.

Namun ini tidak dipilih karena pemerintah Inggris memiliki beberapa pertimbangan untuk tidak sepenuhnya menerapkan kebijakan menutup perbatasan.

Pakar Kesehatan Masyarakat dan Pengajar Program Pascasarjana bidang Kesehatan Masyarakat University of Derby Inggris, Dono Widiatmoko mengatakan bahwa secara geografis, tiap negara memiliki konteks yang berbeda dalam menerapkan aturan selama pandemi ini.

Seperti Indonesia dan Selandia Baru yang memiliki aturan kesehatan berbeda terkait pandemi ini, begitu pula negara di Eropa, khususnya Inggris.

Walaupun tujuan semua negara itu sama, yakni menekan potensi penularan dan masuknya varian baru Covid-19 ke negara mereka.

“Tiap negara itu tidak bisa disamakan potensinya, Selandia Baru konteksnya secara geografis saja berbeda, Indonesia juga demikian, di Eropa Inggris juga demikian kira-kira,” ujar Dono, dalam virtual Diginas Tribunnews bertajuk ‘Sukses Selandia Baru dan Eropa Kendalikan Covid-19’, Kamis (8/7/2021) sore.

Menurutnya, saat ini, dari semua peristiwa yang terjadi selama pandemi, yang bisa ‘dipetik’ pelajarannya adalah bagaimana negara maju dapat mengendalikan laju penyebaran virus tersebut.

“Yang bisa kita tarik adalah pelajaran dari konteks ini dan pelajaran yang bisa ditarik tentang Covid-19 ini,” kata Dono.

Ia kemudian menjelaskan bahwa Inggris merupakan negara yang sangat bergantung pada sektor transportasi. Bahkan ketergantungannya melebihi negara lain di Eropa.

“Inggris adalah negara yang tingkat ketergantungannya dengan transportasi daripada negara negara lain cukup besar,” jelas Dono.

Karena negara monarki ini tidak hanya mengandalkan moda transportasi untuk perjalanan warganya saja, namun juga pengiriman barang hingga bahan pangan.

Sehingga ini yang menjadi pertimbangan pemerintah Inggris untuk tidak sepenuhnya menutup perbatasannya dengan negara lain. Masih ada aturan yang flexible dan ‘bisa dikompromikan’ terkait faktor ini.

“Bukan cuma transportasi manusia, tapi barang, bahan pangan dan sebagainya. Jadi cara penanganan di Inggris ada komprominya lah,” papar Dono.

Dono pun menyebut negara seperti Selandia Baru dan Australia bisa menjaga perbatasannya secara ketat karena letak geografisnya mendukung penerapan kebijakan tersebut.

“Kayak New Zealand (Selandia Baru) menjaga bordernya dengan ketat sekali, Australia juga demikian, menjaga bordernya dengan ketat sekali, itu dimungkinkan karena memang kondisi geografisnya seperti itu,” tutur Dono.

Begitu pula Indonesia, di mana ‘jalur masuk internasional’ berfokus pada dua lokasi saja yakni Jakarta dan Bali. Ini memungkinkan bagi Indonesia untuk menerapkan kebijakan penutupan perbatasan.

“Indonesia secara teoritis juga sebenarnya sangat memungkinkan, karena lokasi masuk ke Indonesia hanya lewat Jakarta dan Bali, kebanyakan seperti itu,” kata Dono.

Namun untuk negara seperti Inggris, kata dia, banyak cara dan jalur untuk bisa memasuki negara itu. Oleh karena itu, menutup perbatasan secara penuh menjadi hal yang sulit bagi pemerintah negeri britania raya.

“Kalau di Inggris, masuknya ini banyak caranya, jadi menutup border itu bukan sesuatu yang mudah,” pungkas Dono.

Israel Pusing Hadapi Varian Delta

Varian baru virus corona (Covid-19) B.1.67.2 (Delta) saat ini masih memusingkan bagi Pemerintah Israel. Mereka mencatat lebih dari 500 kasus baru pada hari Kamis lalu.

Saat ini, ada lebih dari 3.600 kasus aktif yang tercatat di seluruh negeri, padahal beberapa minggu lalu, tidak ada lonjakan angka yang terjadi.

Dikutip dari Sputnik News, Jumat (9/7/2021), pada awal Juni lalu, jumlah kasus harian baru yang dilaporkan di negara itu tidak lebih dari 50 orang.

Namun angka itu terus melonjak karena munculnya varian Delta yang diyakini lebih menular 70 persen dibandingkan virus aslinya.

Varian ini terus menyebar, sehingga jumlah kasus aktif Covid-19 di Israel pun mulai meningkat secara bertahap.

Situasi Mengkhawatirkan

Ido Hadari, yang merupakan Direktur Komunikasi dan Urusan Pemerintah di organisasi kesehatan terbesar Israel, Maccabi, mengatakan situasinya memang ‘mengkhawatirkan’.

Pemerintah Israel mulai ‘memperkenalkan kembali’ sejumlah tindakan pembatasan yang bertujuan untuk menekan laju penyebaran virus.

Awal bulan ini, mereka kembali memberlakukan kebijakan seperti kewajiban penggunaan masker yang sebenarnya telah dicabut beberapa waktu lalu. Israel juga memperbaharui daftar negara yang masuk dalam ‘red list’ mereka.

Daftar ini berisi negara yang memiliki jumlah kasus tinggi, warga Israel pun dilarang untuk melakukan perjalanan ke negara red list itu.

Selain itu, para turis pun dilarang mengunjungi Israel, termasuk mereka yang merencanakan jadwal kedatangan pada awal Juli ini.

Dalam perkembangannya, Perdana Menteri (PM) Israel Naftali Bennett mengumumkan pada hari Rabu lalu bahwa Israel akan meningkatkan kampanye vaksinasi nasionalnya dalam upaya untuk mencapai kekebalan komunal (herd immunity) yang sangat dibutuhkan.

Di sisi lain, Hadari mengatakan, organisasi kesehatan tempat dirinya bekerja akan mengerahkan upaya maksimal untuk melakukan vaksinasi bagi anak-anak berusia 12 hingga 15 tahun.

“Kami baru saja diberitahu bahwa 50 persen anak muda yang terdaftar di Maccabi telah divaksinasi. Kami akan terus menempuh jalan itu dan akan terus mendorong warga untuk mendapatkan vaksinasi,” kata Hadari.

Sebagai bagian dari upaya mencapai herd immunity ini, Maccabi pun mengerahkan unit vaksinasi keliling yang menjelajahi pantai dan tempat-tempat umum untuk meningkatkan kesadaran warga.

Menurut Hadari, langkah ini telah disambut dengan tanggapan yang beragam dari warga Israel. “Pada setiap kelompok umur, ada yang terbuka dan mau untuk divaksinasi, tapi ada juga yang perlu dibujuk, termasuk generasi muda,” jelas Hadari.

Apakah Vaksin itu efektif ?

Meskipun masih banyak warganya enggan untuk disuntik vaksin, Israel telah berhasil menjadi salah satu negara yang paling banyak melakukan vaksinasi di dunia.

Namun demikian, Covid-19 kembali menghantam Israel dan mendorong kasus positif kiana bertambah.

Pada Jumat waktu setempat, 37 dari 3.300 kasus baru yang dilaporkan merupakan pasien dalam kondisi parah atau kritis, 13 diantaranya bergantung pada ventilator.

Hadari menyalahkan populasi Israel yang berusia muda dan belum sepenuhnya divaksinasi.

Dia juga menyalahkan kepadatan penduduk di negara itu yang diduga menularkan virus melalui klaster keluarga dan komunitas.

Meskipun jumlahnya tidak mengkhawatirkan seperti tahun lalu saat pandemi berada di puncaknya, para ahli di Israel memperingatkan bahwa kelalaian dalam menangani situasi ini kemungkinan akan menjadi bencana besar.

Hadari kemudian menekankan agar warga berdamai dan bisa hidup berdampingan dengan virus, tentunya melalui penerapan strategi tertentu.

“Itulah mengapa kita perlu menemukan cara untuk hidup berdampingan dengan virus. Kita perlu menemukan cara untuk menahan lajunya dan kita perlu menghindari lonjakan kasus yang parah, kita juga perlu menyadari bahwa virus itu mungkin saja tidak bisa dihilangkan sepenuhnya,” tegas Hadari.

Sebelumnya, pada hari Rabu lalu, Israel menemukan apa yang disebut ‘virus Delta Plus’. Para ahli masih menyelidiki apakah varian baru ini lebih menular dibandingkan yang sebelumnya.

Namun fakta bahwa Covid-19 terus bermutasi tentunya menimbulkan ketidakpastian dan kepanikan di negara itu. {tribun}