Inilah Tiga Wakil Ketua MPR Baru

Wakil Ketua MPR Baru

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) resmi memiliki tiga Wakil Ketua MPR baru. Mereka adalah Wakil Sekjen PDI-P Ahmad Basarah, Sekjen Gerindra Ahmad Muzani, dan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Muhaimin Iskandar.

Mereka dilantik dan diambil sumpahnya dipandu oleh Ketua Mahkamah Agung (MA) Hatta Ali dalam Sidang Paripurna MPR, di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (26/3). Dengan demikian jumlah pimpinan MPR menjadi 8. Mereka dari PDIP, Golkar, Demokrat, PAN, PKS, Gerindra, PKB dan DPD RI.

Pimpinan yang sudah ada Zulkifli Hasan (ketua, dari PAN), dan empat wakil ketua masing-masing Hidayat Nur Wahid (PKS), Mahyudin (Golkar), EE Mangindaan (Demokrat), dan Oesman Sapta Odang (kelompok DPD).

Penambahan pimpinan setelah DPR mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3) pada 12 Februari 2018.

Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) tidak hadir dalam Sidang Paripurna sebagai protes atas pemberian kursi wakil ketua MPR bagi PKB. Meski demikian, sidang tetap berjalan diikuti sembilan fraksi dan satu kelompok perwakilan DPD.

Publik menilai, penambahan satu kursi pimpinan DPR dan tiga kursi pimpinan MPR tidak didasarkan pada kebutuhan dua lembaga itu.

Penambahan kursi pimpinan DPR dan MPR lebih bersifat kompromi terhadap partai pemenang pemilu legislatif 2014 yang gagal mendapat kursi pimpinan. Setidaknya, latar belakang inilah yang mengemuka sejak awal periode DPR/MPR 2014-2019. Yang lebih memprihatinkan, tidak ada satu pun poin pun dalam revisi yang mengarah pada upaya peningkatan kerja parlemen.

Penambahan tiga pimpinan diperkirakan tidak akan berpengaruh terhadap kinerja lembaga tinggi negara. Apalagi, masa kerja mereka tinggal 1,5 tahun lagi. Penambahan pemimpin MPR justru hanya akan menambah beban negara. Akibat penambahan, minimal negara harus mengeluarkan anggaran sebesar 39,1 miliar rupiah untuk MPR.

Publik sangat menyayangkan banyaknya uang negara yang terbuang sebagai dampak bertambahnya pimpinan MPR tersebut, terlebih tugas utama dari pimpinan MPR hanya menyosialisasikan empat pilar negara. Anggaran untuk sosialisasi empat pilar tahun 2018 saja sudah besar sekali, yakni 437,5 miliar rupiah.

Uang negara semakin tersedot setelah Presiden Joko Widodo meningkatkan status Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila dari unit kerja menjadi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, setingkat kementerian.

Terlepas dari pro dan kontra, tiga Wakil Ketua MPR diharapkan mampu memperkuat tugas lembaga, terlebih negeri ini sedang dalam menghadapi tahun politik, pilkada serentak 2018 dan Pemilu 2019. DPR dan MPR sejak awal memang nyaris selalu disibukkan dengan kompromi-kompromi terkait kepentingan bagi-bagi kekuasaan.

Ini mulai dari diborongnya habis kursi pimpinan oleh Koalisi Merah Putih (KMP), hingga perjuangan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) mendapat jatah kursi pimpinan yang baru terwujud setelah cairnya koalisi pilpres. Ini termasuk menyeberangnya Partai Golkar dan PAN ke partai pendukung pemerintah.

Publik tidak ingin masa kerja yang hanya tinggal 1,5 tahun lagi itu hanya habis untuk urusan–urusan internal parpol, kepentingan kelompok dan kepentingan individu masing-masing pimpinan MPR. Apalagi semua pimpinan MPR itu berasal dari unsur pimpinan partai politik.

Jangan sampai jabatan pimpinan MPR ini hanya dijadikan sebagai sarana memakai uang negara untuk perjalanan ke daerah- daerah guna memperkuat posisi politik mereka di hadapan konstituen dan kepentingan 2018 dan 2019.

Hingga kini memang belum ada aturan hukum yang melarang pimpinan MPR merangkap jabatan sebagai pengurus partai. UU Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD tidak mengatur rangkap jabatan di partai politik.

Kita hanya mengingatkan pimpinan MPR bahwa wewenang dan tugas anggota dan pimpinan MPR itu harus berada di atas kepentingan politik individu, kelompok, dan parpol.