News  

Pilu Tenaga Kesehatan, Insentif Dari Pemerintah Belum Cair Gaji Dari RS Pun Belum Dibayar

Jalani saja. Dua kata yang keluar dari mulut Rika (bukan nama sebenarnya), tenaga kesehatan (nakes) dokter umum yang beberapa bulan terakhir ini menangani pasien covid-19, ketika ditanya soal profesinya yang berisiko tinggi terpapar virus.

Perempuan berumur hampir 30 tahun itu hanya mengeluhkan insentif nakes (tenaga kesehatan) yang dijanjikan pemerintah. Apalagi, gaji pokoknya di bawah ketentuan upah minimum regional (UMR).

Rika mendapatkan tugas menangani pasien covid-19 sejak November 2020 sampai Februari 2021. Lalu, ia memutuskan cuti pada Maret hingga Juni 2021 dan baru kembali menangani pasien covid-19 pada Juli 2021.

Rika seharusnya sudah mengantongi jatah insentif tenaga kesehatan (nakes) dari pemerintah untuk periode November 2020, Desember 2020, Januari 2021, Februari 2021, dan Juli 2021.

Berdasarkan aturan Kementerian Kesehatan, Rika yang seorang dokter umum berhak mendapatkan insentif sebesar Rp10 juta per bulan.

Jika ia sudah mengurus pasien covid-19 dalam waktu empat sampai lima bulan, maka seharusnya Rika sudah mengantongi insentif Rp40 juta-Rp50 juta.

Namun, sejauh ini ia baru mendapatkan insentif Rp20 juta untuk periode Desember 2020 dan Januari 2021.

“Yang periode Desember 2020 dan Januari 2021 kemarin dibayar pada Februari dan Juni 2021. Februari 2021 belum dapat,” cerita Rika kepada CNNIndonesia.com, Jumat (23/7).

Rika mengaku membutuhkan insentif untuk bertahan hidup. Maklum, gaji pokok yang ia kantongi tak menyentuh batas minimal UMR.

Terlebih, rumah sakit belum membayar gaji Rika hingga puluhan juta. Tunggakan gaji itu untuk periode akhir tahun lalu sampai awal 2021.

Namun, total pendapatan yang ia dapat bisa lebih dari Rp3 juta per bulan jika pasien non covid-19 yang diperiksa cukup banyak. “Sejauh ini rumah sakit juga tidak ada uang, gaji saya masih belum dibayar sekian puluh juta,” tutur Rika.

Ia bercerita bahwa keuangan rumah sakit juga seret karena terlalu banyak menerima pasien covid-19. Sementara, proses pencairan atas klaim rumah sakit terhadap penanganan pasien covid-19 ke Kementerian Kesehatan juga lambat.

“Ini kan banyak pasien covid-19, jadi gaji saya yang belum dibayar itu baru akan dibayar kalau Kementerian Kesehatan bayar klaim rumah sakit. Kalau Kementerian Kesehatan menolak yang berarti hangus juga uang saya,” ucap Rika.

Untungnya, pembayaran gaji lancar sejak April 2021 hingga sekarang. Dengan begitu, Rika bisa bertahan hidup dengan uang tersebut. Meski tak seberapa, minimal ia masih bisa membayar sewa indekos dan makan setiap hari.

Rika biasa bekerja dengan shift 40 jam seminggu. Dengan mengenakan alat pelindung diri (APD) lengkap, ia selalu memasrahkan diri ketika bertugas.

“Kadang was-was bawa virus ke rumah, karena kadang pulang ke rumah juga, tidak terus di kos. Kalau ke diri sendiri tidak khawatir karena sudah risiko pekerjaan. Saya menangani pasien juga ‘enjoy’, hanya yang takut itu bawa virus ke rumah,” katanya.

Beruntung, ia tetap sehat sampai saat ini. Begitu juga dengan keluarganya di rumah. Nasib yang sama juga dialami Yusdeny Lanasakti. Seorang dokter spesialis di Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur.

Yusdeny mengaku sudah merawat pasien covid-19 sejak Mei atau Juni 2020 hingga sekarang. Namun, ia baru mencicipi insentif nakes dari pemerintah sebanyak dua kali.

Itu pun untuk periode November 2020 dan Desember 2020. Sementara, tak ada kejelasan untuk insentif periode Mei-Oktober 2020, lalu Januari-Juni 2021 ini.

“Insentif yang didapat baru dari November 2020. Entah karena baru diajukan oleh rumah sakit atau bagaimana. Tapi kenyataannya seperti itu. Baru dua kali, untuk Desember 2020 pun baru dibayar minggu lalu,” ungkap Yusdeny.

Meski insentif macet, ia memutuskan untuk pasrah. Tak pernah sekali pun Yusdeny menanyakan kepada pihak rumah sakit atau perwakilan pemerintah.

“Kami seperti sudah biasa terkena di-PHP-in (pemberi harapan palsu) oleh pemerintah. Saya tidak pernah tanya, dikasih Alhamdulillah, tidak dikasih gerutu saja. Tapi tidak pernah tanya,” kata Yusdeny.

Insentif yang ia dapat sebagai dokter spesialis sebesar Rp15 juta. Angkanya sesuai dengan aturan Kementerian Kesehatan. “Insentif biasanya saya gunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Bukan untuk tabungan, tidak ke arah sana. Intinya ya seperti bonus saja,” ujarnya. {CNN}