News  

Jokowi Siapkan Rp.405 Triliun Untuk Bayar Bunga Utang RI Di Tahun 2022, Ini Rinciannya

Soal utang di bawah rezim Presiden Joko Widodo (Jokowi) harus mulai dibayarkan kewajibannya pada tahun 2022.

Dalam hitungan RAPBN 2022, angka pembayaran utang yang harus dibayarkan Jokowi nilainya tak main-main, yakni menembus angka Rp405,87 triliun. Mirisnya, angka tersebut adalah kewajiban pemerintah membayar bunga utang.

Angka Rp405,87 triliun tersebut ternyata naik 10,8 persen dari outlook APBN 2021, yakni sebesar Rp366,2 triliun.

Adapun rincian yang harus dibayarkan sesuai Dalam Buku Nota Keuangan RAPBN 2022, terdiri atas pembayaran bunga utang dalam negeri sebesar Rp393,7 triliun, kemudian Rp12,2 triliun untuk pembayaran bunga utang luar negeri.

Angka-angka tersebut sudah tertuang dalam program pengelolaan utang negara pada RAPBN 2022.

“Pertumbuhan pembayaran bunga utang pada 2022 tersebut lebih rendah apabila dibandingkan dengan pertumbuhan tahun 2021 yang sebesar 16,6 persen (terhadap tahun 2020),” jelas dokumen Buku Nota Keuangan RAPBN 2022 yang dikutip pada Senin, 16 Agustus 2021.

Pemerintah mengklaim hal tersebut dipengaruhi kebijakan penyesuaian pembiayaan utang tahun 2021. Antara lain digunakan untuk pemanfaatan saldo anggaran lebih (SAL) dan optimalisasi penarikan pinjaman tunai.

Dengan kebijakan tersebut diharapkan pemerintah dapat ikut menekan pembayaran bunga utang pada tahun yang akan datang. Perlu diketahui, secara garis besar ada tiga hal dalam perhitungan besaran pembayaran bunga utang tahun 2022.

Di antaranya yang pertama adalah outstanding utang dari akumulasi utang tahun-tahun sebelumnya. Hal itu termasuk juga tambahan utang yang disebut pemerintah untuk penanganan pandemi Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional.

Kemudian yang kedua adalah rencana penambahan utang pada 2022. Lalu hal ketiga adalah rencana program pengelolaan portofolio utang (liabilities management).

Untuk melakukan perhitungan besaran bunga utang juga dipengaruhi beberapa asumsi. Pertama adalah nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing. Dalam hal ini adalah nilai tukar pada dolar Amerika Serikat (USD), yen Jepang (JPY), dan euro (EUR).

Kemudian yang kedua adalah tingkat bunga SUN tenor 10 tahun. Hal itulah yang menjadi acuan bunga untuk instrumen SBN. Selanjutnya yang ketiga adalah referensi suku bunga pinjaman dan asumsi spreadnya.

Ada juga yang keempat adalah diskon penerbitan SBN, dan perkiraan biaya pengadaan utang baru. Dengan kondisi tersebut, pemerintah wajib membayarkan utang tersebut di tengah kondisi Pandemi Covid-19.

Tambah Utang Lagi

Sementara itu, seperti pernah diberitakan Pikiran-Rakyat.com, Pemerintah Indonesia berencana menambah utang baru 2021 senilai Rp515,1 triliun di tengah ketidakpastian ekonomi dan peningkatan laju penyebaran Covid-19 yang masih sulit dikendalikan.

Menanggapi rencana tersebut, Wakil Ketua MPR Fraksi Partai Demokrat Syarief Hasan mendesak pemerintah untuk tidak melakukan penambahan utang baru lantaran utang Indonesia telah melampaui pertumbuhan PDB.

“Dari berbagai kajian menunjukkan bahwa pertumbuhan utang luar negeri Indonesia semakin jauh melampaui pertumbuhan PDB Indonesia,” katanya.

Santer diberitakan jika Menteri Keuangan Sri Mulyani tengah merencanakan dan mencari tambahan utang baru senilai Rp515,1 triliun yang akan berimbas terhadap penambahan utang, yaitu Rp1.226,8 triliun sepanjang 2020 dan bertambah sebesar Rp1.177,4 triliun sepanjang Januari hingga penghujung Juni 2021.

Dengan begitu, total utang luar negeri Indonesia telah mencapai angka Rp6.554,56 triliun per Juni 2021 dan berpotensi kembali naik setelah penambahan utang senilai Rp515,1 triliun.

Syarief Hasan menilai bahwa pengelolaan utang luar negeri selama pandemi Covid-19 semakin memprihatinkan. Ia menyebutkan bahwa rasio utang Indonesia terhadap PDB telah mendekati 41,35 persen dan berpotensi gagal bayar.

“Laju penyebaran Covid-19 juga semakin sulit dikendalikan dan berpengaruh terhadap ekonomi. Rasio utang terhadap PDB juga membengkak mendekati 41,35 persen dan berpotensi gagal bayar,” katanya dari MPR RI pada Selasa, 10 Agustus 2021.

Syarief Hasan menyebut bahwa pemerintah hari ini adalah pemerintah yang paling banyak menambah utang. Pasalnya, penambahan utang selama pemerintahan Jokowi telah mencapai Rp3.946 triliun dalam waktu kurang lebih tujuh tahun.

“Dulu di masa Soeharto, penambahannya Rp.551,4 triliun, lalu di masa SBY masih terkendali dengan penambahan sebesar Rp.1.310 triliun.

Kini, di masa pemerintahan Jokowi, penambahannya sudah mencapai Rp.3.946 triliun hanya dalam waktu kurang lebih tujuh tahun dan masih berpotensi terus bertambah. Ini berbahaya jika tidak segera dikendalikan,” katanya. {PR}