News  

Banyak Masalah dan Biaya Bengkak Rp.69 Triliun, KAI Dukung Audit Investigasi Proyek Kereta Cepat

Disebut tengah dirundung sejumlah persoalan. PT Kereta Api Indonesia (KAI) mendukung usulan Komisi VI DPR untuk dilakukan audit investigatif atas perkara pendanaan Proyek Strategi Nasional, Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB).

Direktur Utama KAI, Didiek Hartantyo menyebut pihaknya sudah membicarakan opsi tersebut dengan Kementerian Keuangan dan Kementerian BUMN.

Selain itu, Didiek juga mengusulkan legislator menjadwalkan pertemuan secara tertutup agar persoalan bisa dikaji lebih mendalam.

“Kami dari KAI mendukung jika diberikan kesempatan secara tertutup sehingga kami pun bisa mengundang konsultan secara faktual apa yang terjadi, apa yang sudah terjadi dan apa yang dilakukan ke depan. Karena ada beberapa hal yang tidak perlu diketahui oleh publik,” ujarnya, dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi VI DPR RI, pada Kamis, 2 September 2021.

Dalam kesempatan tersebut Didiek menyampaikan, proyek itu mengalami pembengkakan biaya (cost overrun) yang diperkirakan mencapai US$4,9 miliar atau setara Rp69 triliun hingga komunikasi yang kurang baik antara konsorsium China dan Indonesia.

Dirinya mengatakan, koordinasi antara dua konsorsium di bawah payung PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) juga tak berjalan mulus padahal pengerjaan Proyek Strategi Nasional (PSN) masih panjang.

Saat ini, tambah Didiek, konstruksi proyek baru mencapai 77,9 persen sejak dimulai pada 9 Juni 2018 sementara ditargetkan beroperasi secara komersial pada awal 2023.

“Jadi bapak pimpinan [DPR] selama ini komunikasi antara pihak Indonesia dengan China itu tidak smooth,” sebutnya.

Didiek juga menjelaskan, KCIC terdiri dari dua konsorsium. Pertama, PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) yang berisi sejumlah perusahaan pelat merah di dalamnya.

Secara komposisi saham, PT Wijaya Karya (Persero) memiliki 38 persen, kemudian KAI 25 persen, PT Jasa Marga (Persero) Tbk. sebanyak 12 persen, dan PTPN VIII 25 persen. Jadi, total saham PSBI sebesar 60 persen di KCJB.

Kedua, konsorsium China, Beijing Yawan HSR Co. Ltd. dengan kepemilikan sebesar 40 persen. Konsorsium ini terdiri atas lima perusahaan, yakni CRIC dengan saham 5 persen, CREC sebanyak 42,88 persen, Sinohydro 30 persen, CRCC 12, dan CRSC 10,12 persen.

Sementara di internal konsorsium Indonesia, Didiek menilai Wijaya Karya sebagai pimpinan proyek KCJB kurang tepat mengingat perseroan adalah BUMN di sektor konstruksi dan bukan perkeretaapian.

Namun, secara aset Wijaya Karya mencatatkan sahamnya sebesar 38 persen yang berarti paling tinggi dari KAI, PTPN VIII, dan Jasa Marga.

“Pimpinan bisa membayangkan lead dari pada proyek ini adalah Wijaya Karya itu perusahaan apa? Konstruksi. Sekarang yang dibangun apa?

Kereta api, orang saya itu orang kereta api, ini diambil konstruksi. Nyambung enggak nih bahasanya. Sehingga sekarang mari kita luruskan apa yang selama ini belum lurus,” ungkapnya. {notif}