News  

Tolak 3 Juta Vaksin Sinovac Dari UNICEF, Korea Utara: Berikan Saja Ke Negara Yang Butuh

Korea Utara menolak hampir 3 juta dosis vaksin Covid-19 dari Sinovac, UNICEF mengungkapkan Selasa (31/8/2021). Korea Utara menyebut vaksin itu sebaiknya dikirim ke negara lain yang terkena dampak lebih parah akibat virus corona.

UNICEF saat ini bertugas mengoordinasikan pengiriman vaksin di bawah program COVAX yang dipantau PBB. COVAX memastikan negara-negara miskin tidak tertinggal dalam memvaksinasi warganya.

“Kementerian Kesehatan Masyarakat (MOPH) DPRK (Republik Demokratik Rakyat Korea) telah mengomunikasikan bahwa 2,97 juta dosis yang ditawarkan kepada DPR Korea oleh COVAX dapat dialihkan ke negara-negara yang terkena dampak parah

mengingat pasokan global vaksin COVID-19 yang terbatas dan lonjakan berulang di beberapa negara,” kata juru bicara UNICEF kepada VOA dalam sebuah email.

Juru bicara itu menambahkan, MOPH akan terus berkomunikasi dengan fasilitas COVAX untuk menerima vaksin COVID-19 lain dalam beberapa bulan mendatang.

Awal tahun ini, program COVAX telah merencanakan mengirim hampir 2 juta dosis vaksin AstraZeneca ke Korea Utara. Namun, batch itu ditolak pada bulan Juli karena kekhawatiran adanya kasus pembekuan darah, lapor Reuters.

Negara yang tertutup itu juga skeptis terhadap kemanjuran vaksin buatan China, kata Institut Strategi Keamanan Nasional (INSS) kepada Yonhap News.

Lembaga Korea Selatan mengatakan, Korea Utara lebih memilih vaksin Sputnik V Rusia, tetapi ingin vaksin itu diberikan secara gratis.

Korea Utara sejauh ini melaporkan nol kasus COVID-19, tetapi para ahli menyatakan keraguan mereka.

Pada bulan Juni, pemimpin Korea Utara Kim Jong Un mengecam pejabat Korea Utara karena “tidak bertanggung jawab dan ketidakmampuan kronis” mereka dalam menangani pandemi, yang diindikasikan bahwa virus itu mungkin telah mencapai Korea Utara.

Fakta-fakta Vaksin Covid-19 dari Sinovac: Efikasi hingga Negara-negara Mana Saja yang Menggunakannya

Produser vaksin Covid-19 dari China, Sinovac dan Sinopharm telah menandatangani skema pembagian vaksin global Covax, yang bertujuan untuk mendistribusikan vaksin ke negara-negara berkembang.

Dilansir BBC.com, Aliansi Global untuk Vaksin dan Imunisasi (Gavi) mengatakan, akan menyediakan 110 juta dosis vaksin sebagai bagian dari skema tersebut.

Covax memiliki perjanjian dengan 11 produsen vaksin dan berencana untuk menyediakan 2 miliar dosis di seluruh dunia pada awal 2022.

Baik Sinopharm dan Sinovac, yang telah disetujui oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk penggunaan darurat, sudah digunakan di China dan puluhan negara lain di seluruh dunia.

Namun, apa saja yang kita ketahui tentang vaksin ini dan bagaimana perbandingannya dengan vaksin yang dikembangkan di negara lain? Berikut ulasannya.

Cara Kerja Vaksin CoronoVac dari Sinovac

Perusahaan biofarmasi yang berbasis di Beijing, Sinovac, adalah yang memproduksi CoronaVac, vaksin yang berisi virus tidak aktif.

Vaksin ini bekerja dengan menggunakan partikel virus yang terbunuh untuk memicu sistem kekebalan tubuh terhadap virus tanpa mempertaruhkan respons penyakit yang serius.

Sebagai perbandingan, vaksin Moderna dan Pfizer adalah vaksin mRNA.

Ini berarti bagian dari kode genetik virus corona disuntikkan ke dalam tubuh, memicu tubuh untuk mulai membuat protein virus (tidak seluruh virus), yang hanya cukup untuk melatih sistem kekebalan.

“CoronaVac adalah metode pembuatan vaksin yang lebih tradisional yang berhasil digunakan di banyak vaksin terkenal seperti rabies,” kata Associate Prof Luo Dahai dari Nanyang Technological University kepada BBC.

Salah satu keunggulan utama Sinovac adalah dapat disimpan di lemari es standar dengan suhu 2-8 derajat Celcius, begitu pula dengan vaksin AstraZeneca/Oxford.

Sebaliknya, vaksin Moderna perlu disimpan pada suhu -20C dan vaksin Pfizer pada suhu -70C.

Ini berarti bahwa vaksin Sinovac dan Oxford-AstraZeneca jauh lebih efektif bagi negara berkembang yang mungkin tidak memiliki fasilitas untuk menyimpan vaksin dalam jumlah besar pada suhu rendah seperti itu.

Efikasi Vaksin Sinovac

WHO mengatakan penelitian menunjukkan vaksin Sinovac mencegah penyakit simtomatik pada 51% dari mereka yang divaksinasi.

Selain itu, Sinovac juga 100% mencegah terjadinya Covid-19 yang parah dan rawat inap pada populasi yang diteliti, untuk orang dewasa berusia 18 tahun ke atas.

WHO menambahkan, hanya beberapa orang dewasa di atas usia 60 yang terdaftar dalam uji klinis, sehingga kemanjuran tidak dapat diperkirakan untuk kelompok usia tersebut.

Menurut penelitian yang diterbitkan dalam New England Journal of Medicine, di Chili, Sinovac memiliki tingkat efikasi 65,9% terhadap Covid-19, efektif 87,5% mencegah rawat inap dan 86,3% efektif mencegah kematian. Namun, hanya sedikit data tentang efektivitasnya terhadap varian Delta.

Sinopharm

WHO juga telah menyetujui vaksin Sinopharm, yang diproduksi oleh perusahaan milik negara. Seperti Sinovac, Sinopharm adalah vaksin tidak aktif yang memicu produksi antibodi yang melawan virus corona.

Virus itu dibunuh sebelum disuntikkan ke tubuh orang, sehingga tidak bisa menularkan Covid-19.

Pada saat itu, WHO mengatakan: “Kemanjuran vaksin untuk penyakit simtomatik dan rawat inap diperkirakan 79%, dengan semua kelompok usia.”

Sekali lagi WHO menyebut bahwa tidak cukup data pada kelompok usia di atas 60-an yang terdaftar dalam uji klinis. Namun, vaksinasi untuk kelompok umur itu tetap direkomendasikan.

Negara-negara yang Gunakan Vaksin Sinovac dan Sinopharm

Lebih dari 80 negara menggunakan vaksin Covid-19 dari China ini, termasuk banyak negara di Asia, di antaranya Indonesia, Thailand, Malaysia, Vietnam, dan Filipina.

Namun, beberapa negara yang memilih vaksin dari China yang memiliki tingkat vaksinasi yang tinggi, masih saja mencatat lonjakan jumlah infeksi.

Misalnya, Chili memberlakukan kembali jam malam dan mengembalikan pembatasan bepergian sebagai tanggapan terhadap varian Delta, yang lebih mudah menular daripada varian sebelumnya.

Lebih dari 70% orang Chili telah divaksinasi lengkap, sebagian besar dengan vaksin Sinovac.

Seychelles dan Mongolia, sementara itu, baru-baru ini mencatat beberapa peningkatan tertinggi dalam kasus per kapita, meskipun populasi mereka kecil.

Kedua negara itu sangat bergantung pada Sinopharm dan program vaksinasi mereka cukup tinggi. Sebanyak 68% orang dewasa divaksinasi lengkap di Seychelles sementara 55% di Mongolia.

Thailand telah mengubah kebijakan vaksinnya untuk mencampur Sinovac dengan vaksin AstraZeneca dalam upaya untuk meningkatkan perlindungan setelah ratusan pekerja medis terjangkit Covid-19 meskipun telah divaksinasi penuh dengan Sinovac.

Sementara di Indonesia, asosiasi dokter dan perawat utama mengatakan setidaknya 30 petugas kesehatan meninggal meski menerima dua dosis vaksin Sinovac.

Jadi Apakah Vaksin Ini Kurang Efektif?

Vaksin bukan satu-satunya faktor untuk menjelaskan apa yang terjadi di negara-negara tersebut. Salah satu alasannya mungkin karena kemanjuran vaksin mungkin berkurang atau tidak efektif terhadap varian baru.

Pfizer baru-baru ini mengatakan bahwa mereka akan meminta izin untuk suntikan booster di Amerika Serikat untuk meningkatkan kekebalan.

Di Indonesia, asosiasi dokter mengatakan, penyakit penyerta (komorbid) mungkin berperan dalam kematian para petugas medis.

Di Chili, beberapa ahli menyebut lonjakan kasus terjadi setelah orang-orang langsung mengabikan protokol kesehatan setelah mendapatkan dosis pertama vaksin.

Prof Ben Cowling, kepala epidemiologi dan biostatik di University of Hong Kong, mengatakan meskipun memiliki “kemanjuran sederhana” terhadap gejala Covid, baik Sinovac dan Sinopharm memberikan “tingkat perlindungan yang sangat tinggi” terhadap penyakit parah.

“Itu berarti bahwa vaksin yang tidak aktif ini telah menyelamatkan banyak nyawa,” katanya kepada BBC.

Bagaimana Varian Mempengaruhi Vaksin

Sinovac dan Sinopharm hanya menguji kemanjuran vaksin terhadap virus yang pertama kali ditemukan di kota Wuhan di China.

Tidak ada data baru yang dipublikasikan tentang bagaimana efektivitas mereka terhadap varian baru.

Berdasarkan penelitian yang mencoba memodelkan perlindungan kekebalan dari virus, Prof Cowling memperkirakan perlindungan yang ditawarkan oleh vaksin “virus yang tidak aktif” terhadap varian Delta bisa 20% lebih rendah dibandingkan dengan varian aslinya.

Perhitungannya menunjukkan pengurangan yang lebih besar terhadap varian Beta yang pertama kali ditemukan di Afrika Selatan, yang merupakan salah satu yang paling berbeda dari virus aslinya.

Profesor Jin Dong-yan, seorang ahli virologi juga dari Universitas Hong Kong, mengatakan kepada BBC bahwa “diperkirakan” kemanjuran vaksin China akan turun terhadap varian baru, termasuk Delta.

Tetapi, dia mengatakan “Sinovac dan Sinopharm adalah vaksin yang baik” dan orang-orang yang tidak memiliki akses ke vaksin dengan kemanjuran yang lebih tinggi harus tetap menerima suntikan tersebut.

Namun, mereka harus terus mengikuti aturan jarak sosial dan langkah-langkah lain untuk mengekang infeksi. {tribun}