News  

OJK: Bank Tutup 1.200 Kantor Cabang Selama Pandemi

Otoritas Jasa Keuangan atau OJK mencatat sudah ribuan unit kantor cabang yang ditutup bank selama masa pandemi Covid-19. Pasalnya, kebutuhan layanan jasa keuangan menjadi branchless atau tanpa kantor fisik semakin meningkat di masa pandemi.

Kepala Departemen Pengawasan Industri Keuangan Non Bank 2A OJK Ahmad Nasrullah menjelaskan, pembatasan aktivitas juga membuat banyak pegawai, baik di kantor pusat maupun cabang, akhirnya bekerja dari rumah (work from home).

“Kami catat bank lebih dari 1.200 cabang yang ditutup,” kata Nasrullah, dalam webinar Warta Ekonomi Collaboration Digital Bangking & Insurance : Synergizing To Survive During & Post Covid-19, Jumat, 10 September 2021. “Asuransi juga ada, tetapi tidak sebanyak itu.”

Data Statistik Perbankan Indonesia yang diterbitkan oleh OJK pada akhir 2019 menunjukkan jumlah kantor bank umum tercatat sebanyak 31.127 unit. Saat ini, angka tersebut menyusut menjadi 29.661 unit, atau berkurang 1.466 unit.

Penutupan kantor tersebut, kata Nasrullah, di antaranya karena pada saat pandemi, perbankan dan asuransi meningkatkan penjualan produk menggunakan teknologi atau secara online. Selain itu, ada implikasi juga penutupan cabang dilakukan dengan alasan efisiensi beban.

Ia menilai fenomena branchless memiliki nilai positifnya yakni operasional perbankan menjadi lebih efisien. Meski begitu, ada juga dampak negatifnya terkait sumber daya manusia atau SDM di kalangan perbankan.

Walaupun jumlahnya tak banyak, menurut Nasrullah, karena hanya ada 1-2 perusahaan yang mengeluhkan dampak penutupan kantor terhadap penyerapan SDM, tapi hal tersebut juga menjadi perhatian OJK.

“Mungkin strategi market sebelum pandemi melalui banyak cabang dan banyak menyerap SDM. Tapi begitu ada pandemi, ini menjadi isu tersendiri.”

Oleh karena itu, kata dia, OJK berupaya agar jangan sampai hubungan ketenagakerjaan ikut memperkeruh suasana di tengah pandemi. OJK terus berdiskusi dengan perusahaan untuk menghindari potensi pergolakan di pasar dan industri.

Semakin berkembangnya perbankan ke arah digital, kata Nasrullah, yang harus diantisipasi adalah inklusi keuangan.

Dengan masih rendahnya literasi keuangan di Indonesia, terutama wilayah remote yang belum tersentuh teknologi dan internet, tentu akan terkendala dalam penggunaan mobile banking.

Apalagi biasanya literasi keuangan dilakukan melalui cabang bank. “Ini yang menjadi isu, harus ada substitusi dalam meningkatkan literasi walaupun cabang berkurang,” ujar Nasrullah. {tempo}