News  

LSAK Temukan Indikasi Dugaan Keterlibatan Anies Dalam Korupsi Lahan Munjul

Peran Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dalam dugaan tindak pidana korupsi (tipikor) pengadaan lahan di Munjul, Jakarta Timur terungkap secara tersirat dari keterangan pihak Kongregasi Suster-Suster CB Provinsi Indonesia sebagai pemilik awal lahan di Munjul tersebut. Ini clue bagaimana peran aktif Gubernur.

Demikian dikatakan Peneliti Lembaga Studi Anti Korupsi (LSAK) Ahmad Aron Hariri dalam pernyataan kepada RadarAktual, Kamis (23/9/2021).

“Tanggal transaksi jual beli lahan dalam kongkalikong PT Adonara Propertindo dan PD Sarana Jaya itu menjadi kata kunci membongkar modus dugaan tindak pidana korupsi yang mengarah pada keterlibatan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Sebab ketika pembelian tanah di Munjul itu telah terjadi, ternyata penugasan PD Sarana Jaya sebagai BUMD penyedia lahan baru diteken Gubernur pada 24 Mei 2019, yakni Pergub nomor 51 tahun 2019,” ungkapnya.

Kata Hariri, Pergub nomor 51 tahun 2019 menjadi dark side yang menjadi petunjuk kuat bahwa patut diduga kongkalikong pengadaan lahan di Munjul bukan hanya peran aktif antara PT Adonara Propertindo dan PD Sarana Jaya, tetapi juga gubernurnya.

Kerugian keuangan negara tidak hanya terjadi sekedar pada kasus pengadaan tanah di Munjul. Penelusuran LSAK, kata Hariri, pencairan Penyertaan Modal Daerah (PMD) PD Sarana Jaya berdasarkan Kepgub nomor 405 dan nomor 1684 penting dilakukan demi penyelamatan triliunan uang negara.

“Sebab terdapat kejanggalan dalam PMD tersebut, di antaranya: 70 ha tanah fiktif yang pernah disebut dalam rapat komisi B DPRD DKI Jakarta pada senin 15/3/2021, perbedaan laporan PMD pada laporan tahunan PD Sarana Jaya dengan LKPD Pemprov DKI Jakarta 2019, dan Laporan Kepgub 1684 sebesar Rp 800 miliar yang belum ada sama sekali,” ujarnya.

Program rumah DP 0 rupiah, menurut Hariri berpotensi merugikan keuangan negara dan tidak menguntungkan masyarakat. Pasalnya masyarakat pada akhirnya juga tetap membayar cicilannya secara utuh.

Berdasarkan Pergub 104/2018. DP 0 rupiah itu bukan berarti gratis dan tidak ada beban bayar DP.

“Jadi DP-nya ditanggung Bank DKI tapi pembayarannya dimasukkan menjadi cicilan. Artinya, misal DP seharusnya 10 dan cicilan 90 untuk sekian tahun. DP 10 bukan ditiadakan, bukan sejujurnya 0 rupiah, tapi digeser atau dijadikan tambahan cicilan. Dan ini belum berhitung soal bunga,” pungkasnya.