News  

Risma dan Public Sector Congorisme

Di kantor Risma marah, di jalan Risma marah lagi, di upacara marah, di seminar marah. Nyaris; dimana-mana ia marah. Hanya di hadapan IDI Risma tiarap, sembari mencium jempol kaki IDI Jatim.

Saat Risma tiarap mencium jempol kaki IDI Jatim, terteralah narasi, demi membela warga Surabaya dari Covid-19, Risma rela cium kaki IDI. Itulah gimmick paling parah sekaligus tanpa faedah.

Anehnya, setiap kali Risma bertingkah, selalu ada kamera disitu. Setiap kali Risma marah, selalu persis di mulut kamera. Apa memang begitu adanya manakala para bos marah besar—selalu ada kamera?

Tiap kali Risma marah, saya kira angin puting beliung sudah dekat. Pohon bisa tanggal, rumah bisa tercongkel, sungai-sungai bisa meluap dengan dahsyatnya, lahar gunung api pun mendidih seketika.

Politik birokrasi angerisme ala Risma, sesungguhnya tak menyelesaikan apa-apa, selain “panik dan ketakutan bawahan.” Besar mulut fakir output.

Silahkan Risma lihat jejak digital, kurang ember apa mulut Ahok? Dia bisa marah dari lohor ketemu subuh. Begitu BPK announce hasil pemeriksaan, ternyata WDP.

Sudah tentu pemeriksaan BPK itu terkait audit keuangan dan kinerja daerah. WDP menggambarkan, kepala, tenggorongan dan congkor Ahok, tidak nyambung dengan governance Pemda.

Kalau dibikin suatu riset, maka ketemulah rumusan masalah seperti ini, apakah kepala dan congor Ahok, berkorelasi positif dengan output kinerja Pemprov DKI?

Habis Ahok terbitlah Risma. Risma adalah potret Ahok dalam politik birokrasi congorisme. Dus, congor dan kemarahan bukanlah governance. Birokrasi yang korup dan inefisien tak bisa diselesaikan dengan kemarahan dan urat leher yang menyembul.

Risma harus tahu satu hal tentang ketimuran dan teologi kepemimpinan. Perempuan tak boleh teriak sampai jingkrak-jingkrak. Pamali ! Menafikan kodrat kerahiman dan kebundaan perempuan, sebagai kekuatan, yang hanya dimiliki keturunan siti Hawa. Wallahu’alam.

Abdul Hafid Baso, Pengamat Sosial Politik