News  

Dinilai Otoriter dan Sentralistik, BEM Se-UI Gelar Aksi Tuntut Pembatalan Statuta

Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) se-Universitas Indonesia (UI) bersama sivitas akademika melakukan aksi menuntut dibatalkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 75 Tahun 2021 tentang Statuta UI.

Aturan tersebut dinilai otoriter dan sentralistik karena memberi rektor kewenangan yang teramat besar.

“Kami mahasiswa, guru besar, dosen, tenaga akademik, dan alumni menuntut pembatalan PP 75/21 Statuta UI,” ujar Dosen Ilmu Politik FISIP UI, Reni Suwarso, saat dikonfirmasi, Selasa (12/10).

Aksi dilakukan di Taman Rotunda, Kampus UI Depok, Jawa Barat, sejak pagi tadi. Menurut Reni, aksi tersebut didukung sepenuhnya oleh Aliansi Pendukung #batalkanStatutaUI yang terdiri dari guru besar, dosen, tenaga akademik, dan alumni.

Reni menjelaskan, aliansi menilai PP Nomor 75 Tahun 2021 bertentangan dengan peraturan dan perundangan di atasnya. Materi PP tersebut dinilai bertentangan dengan Pasal 33 Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, Pasal 5 UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN.

“Bertentangan juga dengan pasal 42-43 UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dan UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik,” jelas Reni.

Lalu, aliansi juga menilai Statuta UI teranyar tersebut tidak benar, tidak jujur, dan tidak transparan. Reni menerangkan, prosesnya, mulai dari penyusunan, perumusan, hingga penggundangannya penuh denga kebohongan publik.

“Beberapa redaksi dan materi muatan pasal-pasal dalam PP Nomor 75 Tahun 2021 secara jelas dan nyata berbeda dan menyimpang dari naskah Rancangan yang semula disepakati bersama oleh keempat Organ UI, yakni MWA, rektor, SAU dan DGBU, pada 26 Juni 2020,” terang dia.

Aturan tersebut pun aliansi nilai menunjukkan sikap otoriter dan sentralistik karena memberi rektor kewenangan sangat besar dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan kegiatan akademik, dengan cara menghapus good university governance.

Di antaranya dengan berhak mengangkat dan/atau memutuskan jabatan akademik. “Termasuk jabatan fungsional peneliti, lektor kepala, dan guru besar, pada pasal 41 ayat 5, yang tidak diamanatkan UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi,” jelas dia.

Dengan statuta itu pun, kata dia, rektor berwenang memberikan atau mencabut gelar kehormatan, gelar akademik, dan penghargaan akademik berdasarkan pertimbangan senat akademi saja sebagaimana diatur pada pasal 41 ayat 4. Reni mengatakan, mulanya itu menjadi kewenangan dewan guru besar sebagai panel kepakaran.

Aliansi juga menilai aturan tersebut kapitalis dengan mengeliminasi peran UI dalam mengemban tanggung jawab untuk mencerdaskan bangsa. Aturan tersebut juga dinilai meminimalisasikan fungsi sosial kemasyarakatan UI.

“PP Nomor 75 Tahun 2021 mengancam inklusivitas pendidikan dengan menghapus kewajiban UI untuk mengalokasikan beasiswa bagi mahasiswa kurang mampu secara ekonomi dan atau memiliki prestasi akademik yang baik minimal 20 persen dari jumlah mahasiswa,” jelas dia. {republika}