Manuver politik petinggi Partai Golongan Karya (Golkar) yang dibalut dalam acara diskusi DPP Partai Golkar yang diselenggarakan di Slipi, Jakarta Barat pada Sabtu, 2 Juni 2018 lalu yang dihadiri Agung Laksono, Rambe Kamarulzaman, Rully Chairul Azwar, dan lain-lain serta menyoroti masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden dua periode sangat tendensius.
Sebelumnya, Ketua DPP Partai Golkar Happy Bone Zulkarnain juga menyoroti masa jabatan Prseiden dan Wakil Presiden ditengah pengajuan judicial review yang dilakukan kelompok masyaraka terhadap Pasal 169 huruf n UU No. 7 tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum yang dinilai bertentangan dengan Pasal 28D ayat (3) UUDN RI 1945, termasuk adanya pertentangan norma sederajat terhadap Pasal 43 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dan hak-hak sosial politik yang diatur dalam UU No. 12 Tahun 2015 Tentang Pengesahan International Convenant on Civil and Political Rights.
Hal ini disoroti tegas oleh Jenggala Center sebagai Tim Inti Pemenangan Joko Widodo – Jusuf Kalla (Jokowi-JK). Jenggala mengatakan jika para petinggi Partai Golkar membaca secara keseluruhan ketentuan BAB III tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara dalam UUDN RI 1945 dari Pasal 4 hingga Pasal 16 agar pemahaman mengenai sistem pemerintahan presidensial dapat lebih baik dan bukan sekedar membaca ketentuan Pasal 7 UUDN RI 1945.
“Membaca Pasal 7 tanpa membaca pasal sebelum dan sesudahnya dapat melahirkan kesesatan berpikir dalam memahami ketentuan sistem presidensial yang kita anut. Belum lagi, bagaimana memahami suatu norma dasar itu dirumuskan? baik landasan filosofis, sosiologis, yuridis dan juga kronologis kenapa suatu norma itu menjadi penting dirumuskan dan ditetapkan sebagai kerangka dasar dalam pemerintahan sistem presidensial,” kata Direktur Eksekutif Jenggala Center Syamsuddin Radjab, Selasa (5/6/2018).
Olehnya, pemahaman original intent dalam suatu perumusan peraturan perundang-undangan terutama Undang-Undang Dasar perlu dimengerti agar norma tersebut dapat diketahui maksud dan tujuannya sebagai salah satu bentuk penafsiran terhadap konstitusi yang menjadi kewenangan Mahkamh Konstitusi.
“Pernyataan saudara Happy Bone Zulkarnain yang dimuat di media online pernyataan saudara Agung Laksono mengandung kecacatan berpikir dan menyesatkan publik hanya untuk memuaskan Ketua Umumnya, Airlangga Hartarto,” tegas mantan Ketua Umum PBHI ini.
Kecacatan dan kesesatan berpikir tersebut setelah memerhatikan komentar para petinggi Partai Golkar tersebut yang kian galau dan ugal-ugalan tersebut, yaitu
Pertama, dalam berita diatas Happy Bone Zulkarnain mengaku “ikut merumuskan amandemen Pasal 7 UUD 1945”. Dalam dokumen naskah komprehensif perubahan UUDN RI 1945 tidak ditemukan nama yang bersangkutan sebagai Tim PAH III BP MPR 1999 (perubahan pertama) yang mengamandemen Pasal-pasal yang mengurangi kekuasaan eksekutif sebanyak 10 Pasal.
Kedua, pernyataan dalam frasa “hingga ditentukanlah dua periode. Dan itu sudah inkrah, dan sudah berlaku sekian lama..”. Frasa “Inkracht” tidak dapat ditujukan pada UUD (groundwet) karena kedudukannya dalam hierarki peraturan perundang-undangan merupakan yang tertinggi sehingga hanya bisa dijadikan sebagai acuan dasar dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dibawahnya termasuk dalam merumus norma pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.
Pernyataan Frasa “inkracht” dalam komentar tersebut lebih bermakna bahwa UUD telah diperkarakan ke pengadilan oleh orang/kelompok tertentu padahal yang dipersoalkan adalah ketentuan UU yang dinilai bertentangan dengan UUDN RI 1945.
“Biarkan Mahkamah Konstitusi menguji pasal yang dimohonkan pemohon dan memberi tafsir terhadap pasal 7 UUDN RI 1945 tersebut dan bukan tafsir menurut petinggi Partai Golkar yang tidak memiliki kekuatan apa-apa kecuali kepentingan politik kelompok internal,” kata Dosen Hukum IAIN Alauddin ini.
Ketiga, Happy Bone Zulkarnain telah membangun opini publik yang bersifat misleading prejudices (prasangka menyesatkan) dengan mengatakan bahwa “..uji materi dikaitkan dengan Jusuf Kalla maju kembali mendampingi Joko Widodo di Pilpres 2019, berseberangan dengan apa yang pernah diucapkan mantan Ketua Umum Partai Golkar tersebut”.
Dengan pernyataan ini, Happy menuding JK telah menyuruh/meminta pihak lain agar melakukan judicial review terkait Pasal yang dimohonkan dan diributkan petinggi Partai Golkar lainnya saat ini.
“Saya sarankan saudara Happy agar bertanya langsung kepada pemohon penguji undang-undang agar lebih jernih dan sehat berpikir menilai orang lain. Lebih dari itu saya harapkan agar Partai Golkar secara resmi mendaftarkan diri sebagai PIHAK TERKAIT dalam permohonan dimaksud agar pertarungan ide dan gagasan terkait Pasal 7 UUDN RI 1945 lebih terhormat dibandingkan “ngecap” diruang publik,” tegas Ollenk, sapaan akrabnya.
Keempat, pernyataan “MK tidak berwenang menafsirkan UUD, akan tetapi melaksanakan UUD..”. Ollenk sarankan Happy Bone Zulkarnain dan petinggi Partai Golkar lainnya kembali membaca UU Mahkamah Konstitusi agar tugas dan wewenang MK dapat dipahami secara benar sehingga tidak menyesatkan masyarakat hanya kepentingan kelompok kecil di internal Partai Golkar.
Ollenk melihat hal ini bukan keputusan resmi Partai Golkar, hanya keputusan “kelompok kecil”. Perlu dipahami bahwa MK merupakan lembaga negara yang satu-satunya berwenang menguji UU terhadap UUDN RI 1945 termasuk memberikan tafsir yang dimohonkan oleh pemohon.
Jenggala Center, kata Ollenk, mafhum jika memang Airlangga Hartarto ingin dampingi Joko Widodo pada Pilpres 2019 mendatang, namun sebaiknya dilakukan dengan cara beretika dan beradab.
Tidak menyerang kelompok lain seperti yang dilakukannya ke Muhaimin Iskandar sehingga PKB berekasi keras agar “penumpang gelap” tidak terlalu banyak menuntut.
“Untuk itu, Jenggala Center ingatkan saudara Airlangga Hartarto sebagai Ketua Umum dapat mengendalikan tingkah laku dan pernyataan kontraproduktif dari para bawahannya agar lebih beradab dalam memberikan statement politik di ranah publik dengan memerhatikan etika, norma sosial dan tidak melakukan delegitimasi terhadap figur tertentu hanya demi kepentingan pribadi,” tekan Ollenk.
Airlangga pun diharapkan bisa beri keteladanan dalam kepemimpinan politik nasinal dengan bersungguh wujudkan tagline “Golkar Bersih”.
Jenggala Center pun minta Airlangga dan petinggi Golkar lainnya untuk berkaca pada kegagalakan periode sebelumnya dengan belajar menghargai sikap berbeda dalam politik dan menggunakan kekuasaan politik di internal partainya untuk memaksakan kehendak pribadi yang dapat merusak soliditas kepartaian hingga berefek pada elektabilitas partai tahun 2019 mendatang.
Pengajuan judicial review oleh kelompok masyarakat atas ketentuan Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU No. 27 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum merupakan hak setiap warga negara yang dilindungi konstitusi dan Undang-undang sehingga harus dihargai dan dihormati.
“Bukan dengan sikap ambivalensi mengidap penyakit gangguan kepribadian ganda (dissociative identity disorder), menghargai sikap penguji UU tetapi disisi lain juga bersikap nyinyir atas pengujian UU tersebut. Saya menegaskan, sebaiknya Partai Golkar mengajukan diri sebagai pihak terkait dalam permohonan dimaksud dan itu yang ditunggu publik atas keberatan saudara,” kata mantan Ketua PB HMI ini.
“Agar saudara Airlangga Hatarto dan orang-orangnya menghentikan upaya alineasi dan delegitimasi terhadap figur HM. Jusuf Kalla dalam pelbagai acara dan agenda kepartain di daerah-daerah dan pertemuan lainnya. Jika ingin jadi Wakil Presiden sebaiknya bicarakan langsung dengan JK agar lebih beradab secara politik dan moral,” tandas Ollenk.