News  

Ingat Lumpur Lapindo? Ternyata Berisi Harta Karun Super Langka Yang Kini Diburu Dunia

asih ingat lumpur lapindo? seperti yang diketahui menjadi kenangan kelam bagi warga sekitarnya. Karena menenggelamkan rumah warga hingga harus memilih untuk pindah.

Terkait hal tersebut kini dikabarkan semburan lumpur panas Lapindo di Sidoarjo, Jawa Tengah memiliki ‘harta karun’ super langka.

Dikutip dari Pusat Sumber Daya Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), logam tanah jarang sudah ditemukan sejak abad ke-18. Sejak saat itu, para peneliti berlomba-lomba menemukan jenis unsur logam yang terkandung di dalamnya.

Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM, Eko Budi Lelono menyampaikan bahwa pihaknya sudah melakukan penyelidikan terkait mineral logam tanah jarang di Lumpur Lapindo, Sidoarjo sejak tahun 2020 lalu.

“Tahun 2020 penyelidikan di sana, dan teman-teman kami terlibat dan lakukan kajian secara umum di Sidoarjo. Ada indikasi logam tanah jarang ini, selain logam tanah jarang ada logam raw critical material yang jumlahnya lebih besar dari logam tanah jarang,” paparnya.

Tahun 2021, Badan Geologi Kementerian ESDM sudah melakukan kajian secara mendetail atas temuan tersebut dan hingga kini hasilnya masih dalam pemrosesan. Eko mengatakan hasil kajian baru akan diberikan kepada publik jika sudah tuntas dilakukan.

“Tahun 2022 kami lakukan kajian dengan Ditjen Minerba, dan kerjasama dengan salah satu Litbang ESDM pusat yakni Tekmira terkait potensi untuk logam tanah jarang tersebut,” imbuhnya.

“Ini kerjasama dengan dua institusi dan perlu koordinasi akan hasilnya dan diintegrasikan. Saat ini sedang diintegrasikan sehingga nanti kita bisa tahu potensi logam tanah jarang di Sidoarjo.”

Kementerian ESDM juga membuka peluang investasi untuk menggarap eksplorasi logam tanah jarang ini. Khususnya pada sektor teknologi untuk memproses perolehan eksplorasi.

Penggunaan logam tanah jarang sangat luas dan erat kaitannya dengan produk industri teknologi tinggi, seperti industri komputer, telekomunikasi, nuklir, dan ruang angkasa.

Di masa mendatang diperkirakan penggunaan tanah jarang akan meluas, terutama unsur tanah jarang tunggal, seperti neodymium, samarium, europium, gadolinium, dan yttrium.

Peluang jangka panjang dan untuk pemenuhan bahan industri teknologi tinggi seperti baterai kendaraan listrik akan dikembangkan di Indonesia, maka produk sampingan berupa mineral-mineral yang mengandung logam/unsur tanah jarang tersebut dapat dialokasikan untuk pemenuhan kebutuhan industri baterai listrik nasional.

Manfaat dari Rare Earth atau Tanah Jarang bisa dipakai untuk teknologi, otomotif dan militer dan masih banyak lagi.

Kisah Lumpur Lapindo

Kisah lumpur lapindo tepatnya pada 29 Mei 2006 berarti sudah 16 tahun berlalu sejak pertama kali Lumpur Lapindo dari tanah wilayah Timur Jawa menyembur.

Semburan lumpur itu berasal dari Sumur Banjarpanji 1, Porong, Sidoarjo, Jawa Timur di lokasi pengeboran gas milik PT Lapindo Brantas, di Kecamatan Porong, Sidoarjo, Jawa Timur.

Penyebab terjadinya semburan gas disertai lumpur panas hingga kini masih misterius.

Muncul sejak subuh

Dari arsip pemberitaan Harian Kompas (30/5/2006), warga Desa Siring, kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur yang tinggal 150 meter dari lokasi, mengaku gas mulai muncul sejak pukul 06.00 WIB.

Namun, sesungguhnya lumpur bersuhu 60 derajat celcius dan gas itu mulai menyembur sejak subuh, pukul 04.30 WIB di tengah areal persawahan desa.

Dua warga dilaporkan keracunan akibat mengirup gas yang diketahui mengandung hidrogen sulfida itu. Kegiatan belajar-mengajar di sekolah yang ada desa itu pun diliburkan selama 2 hari akibat kejadian ini.

Penyebab masih misterius

Penyebab terjadinya semburan gas disertai lumpur panas hingga kini masih misterius. Informasi yang didapat simpang siur, bahkan bertolak belakang.

Dikutip dari Kompas.id (29/5/2021), seorang mekanik PT Tiga Musim Jaya Mas, kontraktor pengeboran, mengatakan, semburan gas disebabkan pecahnya formasi sumur pengeboran.

Saat di kedalaman 9.000 kaki atau 2.743 meter dan akan diangkat untuk ganti rangkaian, bor tiba-tiba macet. Gas tak bisa keluar melalui saluran fire pit dalam rangkaian pipa bor, dan menekan ke samping, akhirnya keluar ke permukaan melalui rawa.

Pipa selubung

Dari dokumen yang diterima Kompas, yang ditujukan kepada Lapindo Brantas Inc, pada 18 Mei 2006 atau 11 hari sebelum semburan gas, PT Lapindo Brantas sudah diingatkan soal pemasangan casing atau pipa selubung oleh rekanan proyek.

Pipa sudah harus dipasang sebelum pengeboran sampai di formasi Kujung (lapisan tanah yang diduga mengandung gas atau minyak) di kedalaman 2.804 meter.

Lapindo sebagai operator proyek belum memasang casing berdiameter 9 5/8 inci pada kedalaman 2.590 meter. Pemasangan casing adalah salah satu rambu keselamatan.

Menanggapi hal itu, Wakil Presiden PT Lapindo Brantas Bidang General Affairs Yuniwati Teryana membuat pernyataan tertulis. Isinya, sesuai dengan program pengeboran yang disetujui, pipa 9 5/8 inci akan dipasang 15-20 kaki (4,5-6 meter) di dalam formasi Kujung, sekitar 8.500 kaki.

Dengan pengalaman pengeboran sumur terdekat, sumur Porong-1, menurut Yuniwati, casing 50 kaki di atas formasi Kujung menimbulkan masalah loss and kick yang sulit diatasi.

”Kedalaman lapisan batuan tidak bisa diprediksi tepat. Karena itu, penentuan kedalaman pipa sangat ditentukan oleh tekanan aktual formasi dan kondisi lubang saat itu,” kata Yuniwati.

Dia menjelaskan, beberapa kali mengecek dan belum juga sampai ke formasi Kujung, pengeboran diteruskan ke 2.667 meter. Formasi Kujung tetap belum ketemu. Survei kedalaman dengan check shot dilakukan di 2.667 meter. Hasilnya tak jelas.

Dari interpretasi seismik, diduga formasi Kujung ada di 2.682 meter, 2.865 meter, bahkan paling mungkin 2.926 meter. Hingga 2.804 meter tetap belum ketemu.

Mempertimbangkan kondisi lubang saat itu, diputuskan terus mengebor hingga menembus formasi Kujung, hingga 2.865 meter—mempertimbangkan kick tolerance pengeboran maksimum.

”Namun, pada 2.833 meter telah terjadi loss,” ujar Yuniwati.

Upaya menghentikan semburan

Perusahaan berupaya untuk menghentikan kebocoran gas yang diduga akibat runtuhnya dinding sumur bagian dalam ini dengan cara menginjeksi lumpur berat ke dalam sumur.

Namun, upaya itu tak mnendatangkan hasil yang optimal. Sumur pengeboran terus menyemburkan material panas dari dalam Bumi. Lumpur terus dimuntahkan, hingga meluas ke area di sekitarnya.

Mencegah semburan lumpur membanjiri pemukiman warga, dibangun lah tanggul-tanggul penahan dari material tanah yang dikerjakan menggunakan eskavator dan alat-alat berat lainnya.

Lumpur yang tak kunjung berhenti menyembur menyebabkan beberapa kali tanggul mengalami jebol di sana-sini, karena tak kuat menahan tekanan yang ada.

Tak pelak, lumpur yang tertampung pun tumpah menerjang pemukiman warga. Tidak hanya membanjirinya, namun menenggelamkannya. Salah satu kejadian tanggul jebol terjadi pada 10 Agustus 2006.

5.680 jiwa mengungsi

Diberitakan Harian Kompas (29/5/2021), tanggul penahan lumpur setinggi 3 meter di Desa Siring jebol sepanjang 15 meter.

Akibatnya, 750 rumah warga tergenang, 5.680 jiwa diungsikan, dan jalur kereta api Surabaya-Malang juga Surabaya-Banyuwangi tertutup.

Hingga saat ini, tidak ada yang bisa memastikan kapan lumpur yang berasal dari kedalaman 2.734 meter itu akan berhenti menyembur.

Mengutip arsip Harian Kompas (19/6/2006), dalam 21 hari kejadian saja sudah 90 hektar lahan yang terdiri dari sawah, tambak, juga permukiman, sudah rerendam lumpur sedalam 1-6 meter.

Ketika itu, General Manager PT Lapindo Brantas, Imam Agustino menyebut setiap harinya, sekitar 5.000 meter kubik lumpur dimuntahkan.

Bagaimana dengan hari ini, ketika lumpur sudah menyembur selama 15 tahun hingga membentuk bagian menyerupai kawah yang aktif mengeluarkan asap, di antara hamparan luapan lumpur yang telah mengering.

Tangkapan layar dari citra Google Maps di atas dapat membantu kita mengetahui seberapa luas area yang telah ditelan oleh lumpur panas ini.

Untuk menangani bencana ini, Pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat terus menggelontorkan anggaran dalam jumlah yang tidak sedikit.

Dikutip dari Kompas.com (8/6/2020), dianggarkan dana sebesar Rp 239,7 miliar untuk penanganan lumpur ini.

Dana itu, di antaranya digunakan untuk optimalisasi pengaliran lumpur ke Kali Porong juga menjaga keandalan tanggul dan infrastruktur penopang lainnya. {tribun}