News  

Denny Indrayana: Perpanjangan Masa Jabatan Presiden Bentuk Pelecehan Konstitusi

Wacana Perpanjangan Masa Jabatan Presiden Jokowi dengan menunda pelaksanaan kembali Pemilu 2024 disinggung sejumlah elite politik. Ada dua pimpinan parpol Muhaimin Iskandar (PKB) dan Zulkifli Hasan (PAN) yang telah mendorong penundaan pemilu.

Guru Besar Hukum Tata Negara pun mengaku cemas dan gusar dengan munculnya lagi wacana tersebut. Ia mengingatkan perpanjangan masa jabatan ini tidak hanya berdampak pada Presiden, tetapi juga parlemen dan kepala daerah.

“Dalam hari-hari ini, partai-partai koalisi pemerintah (PKB, Golkar, PAN, Nasdem, PPP), menyatakan dukungannya bagi penundaan Pemilu 2024. Baru PDI Perjuangan yang secara terbuka menyatakan penolakannya, yang belum tahu juga apakah tetap bisa bertahan dan tidak tergoyahkan.

Ingat, penundaan pemilu berarti pula perpanjangan jabatan presiden dan parlemen, serta pula kepala daerah,” jelas Denny dalam keterangannya, Jumat (25/2).

Denny menilai orang-orang yang mendorong wacana memperpanjang masa jabatan ini sangat memalukan sekaligus membahayakan. Ia meminta pihak-pihak terkait untuk cepat menanggapinya dengan serius,

Lebih lanjut, ia menegaskan, penundaan pemilu bisa dikatakan juga sebagai pelanggaran konstitusi yang telanjang alias pelecehan terhadap konstitusi (contempt of the constitution).

Menurut dia, alasan penundaan pemilu pun harus jelas yakni demi penyelamatan negara dan melindungi rakyat Indonesia.

“Dalam teori ketatanegaraan pelanggaran atas konstitusi hanya dimungkinkan dalam situasi sangat darurat, hanya demi menyelamatkan negara dari ancaman serius yang berpotensi menghilangkan negara,” tegas Denny.

“Sejarah Indonesia mencatat, pembubaran Konstituante dan kembali ke UUD 1945, melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sebagai salah satu pelanggaran konstitusi, yang akhirnya diakui menjadi sumber hukum bernegara yang sah dan berlaku,” imbuhnya.

Secara tegas ia menyebut alasan pelanggaran konstitusinya pun harus jelas. Indikator penting lainnya yang berkaitan adalah pembatasan kekuasaan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia sebagai pilar-pilar utama dari prinsip konstitusionalisme.

“Maka, dengan parameter demikian, menunda pemilu 2024, menambah masa jabatan presiden, memperpanjang masa jabatan parlemen, dan kepala daerah, nyata-nyata adalah potret pelanggaran konstitusi yang berjemaah, karena lebih didasari pada dahaga atas kekuasaan semata (machtsstaat) dan bukan berdasarkan perjuangan tegaknya negara hukum (rechtsstaat),” jelasnya.

Denny juga mengingatkan konstitusi tidak boleh diubah sama sekali untuk melegitimasi pelanggaran konstitusi. Apalagi dengan tujuan untuk memperbesar kekuasaan. Padahal, peran konstitusi itulah yang bertujuan untuk membatasi kekuasaan.

“Tidak boleh konstitusi disalahgunakan untuk memberikan legitimasi, atas penumpukan kekuasaan yang sejatinya melanggar maksud dan tujuan hadirnya hukum dasar konstitusi itu sendiri,” ucap dia.

Apabila wacana ini berlanjut, ia mendorong masyarakat untuk menolaknya. Denny mengingatkan konstitusi harus dihormati dan bukan dilecehkan. Ia juga meminta Presiden Jokowi sebagai Kepala Negara untuk ikut meluruskan persoalan tersebut.

“Elemen masyarakat madani tidak boleh membiarkan kesalahan mendasar ini dan harus melakukan konsolidasi dan penolakan keras. Jangan sampai kita terlambat, hingga yang melakukan pelurusan sejarah adalah hukum alam-sunatullah,” tutup Denny.

Sebelumnya, Cak Imin dan Zulhas menilai Pemilu 2024 perlu ditunda. Sementara Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto dan Sekjen NasDem Johnny G Plate membuka kemungkinan soal wacana perpanjangan masa jabatan Jokowi. {kumparan}