News  

Kisruh Harga Minyak Goreng Selangit, Dampak Mekanisme Subsidi Tak Tepat Sasaran

Persoalan pemenuhan kebutuhan dan stabilitas harga minyak goreng hingga saat ini belum menemui titik terang. Mekanisme subsidi mengendalikan harga minyak goreng dinilai belum tepat sehingga memicu persoalan lain yang muncul di tengah masyarakat.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, selama ini mekanisme subsidi yang digunakan untuk mengendalikan harga minyak goreng melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Padahal idealnya menggunakan skema subsidi dari APBN.

“Memang idealnya subsidi migor ini melalui APBN sehingga lebih transparan dan pengawasannya pun jauh lebih mudah daripada BPDPKS,” kata Bhima kepada JawaPos.com, Sabtu (19/3).

Bhima menerangkan, pengawasan untuk subsidi minyak goreng dapat digabungkan dengan data terpadu kesejahteraan sosial.

Sehingga, manfaatnya dapat tepat sasaran yaitu menyasar masyarakat menengah kebawah atau masyarakat miskin yang memang sangat memerlukan bantuan untuk pemenuhan kebutuhan pangan mereka.

“Jangan kemarin. Kemarin itu kan kesalahannya subsidi minyak goreng kemasan, yang membeli belum tentu kelas menengah kebawah atau masyarkat miskin tapi yang membeli kebanyakan kelas menengah atas,” tuturnya.

Apalagi, lanjutnya, skema subsidi yang diberikan sebelumnya melalui perusahaan ritel dalam hal ini pasar modern atau supermarket. “Subsidinya dijual melalui mini market modern. Itu kesalahan yang jangan sampai terulang,” ucapnya.

Di sisi lain, Bhima melanjutkan, jika skema subsidi yang diberikan adalah minyak goreng curah, maka pengawasannya akan menjadi sangat sulit.

Sebab, besar kemungkinan timbul persoalan lain yaitu, oknum yang tidak bertanggung jawab, dalam hal ini pedagang minyak goreng curah melakukan kecurangan mengoplos dengan minyak goreng jelantah.

“Yang namanya minyak goreng curah itu bisa kemungkinan dioplos oleh jelantah kemudian karena tak ada kemasan, kode barcode dan kode produksinya maka ini rentan,” ungkapnya.

Selain itu, juga rentan terjadinya penimbunan terhadap minyak goreng curah karena adanya potensi peralihan konsumsi dari masyarakat yang sebelumnya menggunakan minyak goreng kemasan menjadi membeli minyak goreng curah.

“Kalau gap antara migor kemasan disparitas harga curah yang subsidi makin lebar maka tidak menutup kemungkinan mereka akan turun kelas untuk mengkonsumsi migor curah,” jelasnya.

Dengan demikian, kata Bhima, hal itu bisa mengakibatkan alokasi subsidi BPDPKS tidak tercukupi. Pada akhirnya, akan memicu kelangkaan pada minyak goreng curah.

Menurut Bhima, seharusnya kebijakan terkait stabilitas harga minyak goreng ini menggunakan skema Domestic Market Obligation (DMO), mencari akar persoalan pendistribusian minyak goreng yang menghambat, serta pengawasan dari kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET) itu sendiri.

“Cari rantai distribusi mana yang bermasalah menimbun, penegakan hukumnya, dan dari disisi HET nya juga dipantau. Jadi khawatirnya pemerintah gonta ganti kebijakan ini karena tidak kuat berada pada tekanan konglomerat sawit,” pungkasnya. {JP}