News  

Elektabilitas Prabowo Terus Tergerus: Publik Sudah Jenuh; Tak Dapat Andalkan Karisma

Elektabilitas Prabowo Subianto tergerus. Meski dalam sejumlah survei namanya masih masuk dalam kandidat 3 besar, tetapi posisinya terus disaingi kandidat lain yang elektabilitasnya merangkak naik. Seperti Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.

Misalnya seperti dalam survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) melaporkan survei bertajuk ‘Partai dan Calon Presiden: Kecenderungan Sikap Pemilih Menjelang 2024′ periode September 2021.

Hasilnya, dibandingkan pada Mei 2021, dukungan untuk Anies sedikit naik dari 23,5 persen menjadi 25 persen. Sedangkan Prabowo cenderung melemah dari 34,1 persen menjadi 30,8 persen.

Lalu pada survei teranyar SMRC, elektabilitas Prabowo menurun dari 20 persen menjadi 17,6 persen.

Contoh lainnya dalam survei Litbang Kompas, Oktober 2019, Prabowo tertinggi memperoleh dukungan 14,7 persen, disusul Anies dengan 8,4 persen.

Dua tahun berselang, elektabilitas Prabowo turun. Dalam survei periode 6 September-9 Oktober 2021, Litbang Kompas menunjukkan bahwa Prabowo memiliki elektabilitas 13,9 persen.

Kenapa elektabilitas Prabowo tergerus?

Karisma Ketokohan Mulai Lemah

Direktur Eksekutif SMRC Sirojudin Abbas menjelaskan salah satu faktor elektabilitas Prabowo menurun karena karisma ketokohan Prabowo sudah mulai melemah. Hal itu terjadi karena Prabowo dianggap tak lagi membangkitkan harapan perubahan politik.

“Karisma ketokohan beliau sudah melemah. Meskipun namanya masih populer, tetapi sudah tidak lagi membangkitkan harapan perubahan politik,” kata Sirojudin, Jumat (8/4).

Selain itu, kata dia, bergabungnya Prabowo ke dalam pemerintahan dinilai membuatnya tidak lagi menjadi figur yang inspiratif.

“Setelah bergabung di pemerintah, dia tidak lagi menjadi figur inspiratif dan idealis. Tetapi telah berubah menjadi pemimpin pragmatik,” kata dia.

Sirojudin menuturkan Ketum Gerindra itu juga semakin berjarak dengan pemilih baru. Menurut dia, saat ini pendukung Prabowo merupakan masyarakat yang setia mendukung selama 3 pemilu terakhir.

“Beliau juga sudah semakin berjarak dengan lapisan demografi pemilih baru. Mereka yang masih mendukung beliau adalah mereka yang sudah jauh terlibat mendukungnya dalam tiga pemilu terakhir,” ucapnya.

Publik Jenuh dan Gabung Koalisi Jokowi

Pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia Ujang Komarudin menilai ada sejumlah faktor yang menyebabkan elektabilitas Prabowo melemah. Salah satunya, masyarakat jenuh karena Prabowo sudah tiga kali gagal dalam ajang Pilpres 2024.

“Ada titik kejenuhan dari publik. Prabowo sudah tiga kali maju, coba dua kali capres dan satu wapres. Jadi 15 tahun, 3 periode. Kan, ada titik jenuh juga bagi masyarakat,” kata Ujang saat dihubungi, Jumat (8/3).

Selanjutnya, Ujang menduga banyak pendukung Prabowo yang kecewa dengan output Pilpres 2019. Setelah bersaing panas dalam pilpres, Gerindra justru bergabung ke parpol koalisi Jokowi, bahkan Prabowo ditunjuk sebagai menteri Kabinet Indonesia Maju.

“Bisa jadi ada kekecewaan dari pendukungnya terkait Pilpres 2019. Kita tahu banyak pendukung yang ingin beliau di luar kekuasaan, jadi oposisi saja. Tapi faktanya gabung Jokowi, lawan politiknya di 2019,” terang Ujang.

Terakhir, Ujang menyoroti Prabowo jarang terjun langsung ke masyarakat. Lain dengan Anies Baswedan atau Ganjar Pranowo yang kerap ‘blusukan’ dan menyapa warga.

“Prabowo dari dulu hingga saat ini enggak pernah jalan. Enggak pernah menyapa publik, enggak pernah menatap rakyat. Tidak bersentuhan dengan grassroot,” papar Ujang.

“Jadi paling tidak tiga faktor itulah yang buat Prabowo cenderung stagnan dan menurun,” tutup dia.

Prabowo Dinilai Perlu Aktif di Medsos untuk Genjot Elektabilitas

Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno menyarankan Prabowo untuk aktif di media umum dan media sosial untuk mendongkrak elektabilitasnya.

“Kalau yang lain kan tiap hari tiap saat. Sehari bisa 6 kali kan update status. Itu berpengaruh lho terhadap kebijakan. Berpengaruh terhadap penilaian publik. Minimal publik tahu apa yang mereka lakukan,” kata Adi ketika dihubungi Jumat (8/4).

Alasan lain, Adi menilai Prabowo sudah tiga kali berpartisipasi dalam Pilpres. Ini membuat masyarakat jenuh dan ingin mencari figur lain sebagai capres.

“Kalau saya melihat secara umum ya memang ada faktor publik itu mencari figur alternatif di luar Prabowo karena kan Prabowo sudah 15 tahun kan ikutan di pilpres itu,” ujarnya.

Lebih lanjut, Adi tidak menilai ada kaitan isu penundaan pemilu atau perpanjangan masa jabatan presiden dengan melemahnya elektabilitas Prabowo. Menurut dia, sejak awal Gerindra sudah menolak wacana perpanjangan masa jabatan presiden.

“Cuma memang tidak terlampau terekspos ke publik sikap tegas dari Gerindra itu. Mungkin ini juga dipengaruhi faktor karena Prabowo itu tidak terlampau aktif di media dan media sosial,” kata Adi.

Meskipun demikian, ia menilai tidak melihat kemungkinan Gerindra akan mencalonkan kader lain pada Pilpres 2024 nanti.

“Jelas kan Gerindra 2024 tetap mengusung Prabowo jadi capres. Itu harga mati. Kalau ada suara-suara lain misalnya di luar Gerindra, di luar Prabowo ya pasti ditertibkan,” tutupnya. {kumparan}