News  

Sri Lanka Krisis Karena Terlalu Banyak Utang, Indonesia Bakal Bernasib Sama?

Sri Lanka tengah mengalami krisis ekonomi akibat utang luar negeri yang makin melambung, namun tak lagi mampu membayar utang yang jatuh tempo alias gagal bayar (default). Kondisi diperparah dengan adanya konflik antara Rusia-Ukraina yang menyebabkan harga komoditas makin tinggi.

Berdasarkan data Bank Sentral Sri Lanka (CBSL) yang dikutip kumparan, Sabtu (16/4), total utang luar negeri Sri Lanka per akhir tahun 2021 sekitar USD 51 miliar atau Rp 729 triliun (kurs Rp 14.300). Angka ini sebesar 60,85 persen dari produk domestik bruto (PDB) Sri Lanka.

Adapun utang luar negeri Sri Lanka yang jatuh tempo tahun ini sebesar USD 7 miliar. Sementara kondisi keuangan Sri Lanka terus menurun, bahkan cadangan devisa yang seharusnya cukup untuk bayar utang, per Maret 2022 hanya tinggal USD 1,6 miliar.

Akhirnya pada 12 April lalu, Sri Lanka mengumumkan mengalami default pada seluruh utang luar negerinya.

Bagaimana Kondisi Tersebut Bisa Terjadi?

Dilansir dari The Hindu, Sri Lanka merupakan salah satu negara yang mengandalkan impor untuk kebutuhan pokok.

Sehingga dengan kondisi kenaikan harga berbagai komoditas saat ini, Sri Lanka berjuang keras agar bisa mendapatkan kebutuhan pokok seperti beras, susu, hingga BBM. Saat ini, Sri Lanka mengalami pemadaman listrik massal hingga 13 jam setiap hari.

Ekonomi dari negara yang memiliki populasi hampir 22 juta penduduk tersebut juga mengandalkan pariwisata, di mana sektor ini mengalami penurunan yang tajam sejak pandemi COVID-19 melanda.

“Beberapa tahun yang lalu, Sri Lanka tampaknya berada di jalur yang benar. Pariwisata sedang booming, dengan proyek mega-infrastruktur menjadi berita utama di seluruh dunia. Hari ini negara ini bangkrut dan harga meroket,” ujar Muttukrishna Sarvananthan, ekonom sekaligus peneliti utama di Point Pedro Institute of Development Sri Lanka.

Krisis yang dialami Sri Lanka berawal dari kesalahan pengelolaan fiskal negara tersebut. Mereka berani memangkas pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 8 persen sejak 1 Desember 2019, dari sebelumnya 15 persen.

Tak hanya PPN, bahkan sejak awal pandemi pun Sri Lanka memberikan insentif berupa pengurangan pajak penghasilan bagi wajib pajak.

Hal tersebut menyebabkan pendapatan negara Sri Lanka hilang secara signifikan. Akibatnya, rupee tergelincir.

Bank Sentral Sri Lanka (CBSL) pun terus berupaya menstabilkan rupee dengan cadangan devisa, namun jatuhnya rupee tak bisa lagi dibendung. Pada awal Maret 2022, CBSL akhirnya membiarkan rupee jatuh bebas.

Dalam kasus tersebut, CBLS pun harus menaikkan suku bunga acuan sebesar 7 persen untuk meredam tingginya laju inflasi yang mencapai 20 persen di April 2022. Bahkan komponen bahan makanan atau pangan, mengalami inflasi hingga 30 persen di periode tersebut.

Mantan Wakil Gubernur CBSL, W.A Wijewardena, mengatakan bahwa kesalahan dari pemangkasan taruf pajak hingga pinjaman yang terus dilakukan, memperburuk kondisi ekonomi Sri Lanka.

“Bahkan hingga menjual cadangan devisa untuk menopang nilai tukar dengan dolar, hingga pergeseran yang terlalu ambisius ke pertanian organik yang menyebabkan penurunan signifikan dalam hasil pertanian,” jelasnya.

Ada Peran China di Balik Gagal Bayar Sri Lanka

Berdasarkan data CBSL, utang luar negeri Sri Lanka didominasi oleh negara China, yaitu sekitar 10 persen, disusul Jepang dan India.

Untuk lembaga, utang luar negeri Sri Lanka didominasi oleh Bank Pembangunan Asia/Asian Development Bank (ADB) sebesar 13 persen dan Bank Dunia sebesar 9 persen.

Sri Lanka sendiri telah meminta China untuk restrukturisasi utang sejak awal tahun. Namun, China justru menolaknya.

Bank Sentral China (PBoC) memberikan pertukaran uang atau bilateral swap senilai 10 miliar yuan atau sekitar USD 1,5 miliar kepada Bank Sentral Sri Lanka (CBSL). Hal ini dinilai sebagai tambahan beban bagi Sri Lanka.

“Sri Lanka telah meminta China untuk melakukan restrukturisasi utang tetapi China belum mengabulkan permintaan ini,” kata Wijewardena.

“Awalnya, China telah menunjukkan kesediaan untuk memberikan pinjaman lain sebesar USD 2,5 miliar untuk memungkinkan Sri Lanka membiayai kembali pinjaman yang jatuh tempo, tapi kemudian ditarik kembali. Sebaliknya, China bahkan memberikan lagi Sri Lanka melalui pertukaran cadangan devisa sebesar 10 miliar Yuan,” jelasnya.

Meski demikian, pemberian tersebut pun belum cukup untuk membantu pelunasan utang luar negeri yang jatuh tempo tahun ini. Saat ini, Sri Lanka tengah melobi IMF untuk memberikan keringanan utang.

Di sisi lain, pemerintah Sri Lanka juga menangguhkan seluruh pembayaran utang luar negeri yang jatuh tempo tahun ini. Tak hanya itu, Sri Lanka juga menawarkan investor untuk pembayaran bond dengan mata uang rupee.

“Seluruh upaya ini hanya akan memberikan ruang bernapas bagi Sri Lanka, tetapi bukan solusi permanen. Solusi permanen terletak pada peningkatan kapasitas Sri Lanka untuk memenuhi kewajiban utangnya,

dengan meningkatkan arus masuk valas melalui pengembangan ekspor barang dan jasa dan dengan menawarkan fasilitas untuk investasi asing langsung,” pungkas Wijewardena.

Apakah Kondisi Sri Lanka Sama dengan Indonesia?

Menteri Keuangan sekaligus Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) Sri Mulyani memastikan, Indonesia akan terus menjaga penerbitan utang luar negeri, agar tidak terjadi gagal bayar seperti Sri Lanka.

Sebelum menarik utang baru yaitu penerbitan obligasi, pemerintah memastikan akan melakukan penyesuaian (adjustment) dari sisi tenor, waktu penerbitan, dan komposisi mata uang.

Meski APBN harus bekerja sebagai penambal guncangan (shock absorber), Sri Mulyani ingin APBN tetap sehat dan selalu siap siaga di masa yang akan datang. Untuk itu, konsolidasi fiskal ke arah 3 persen pada tahun 2023 harus tetap dijalankan.

“Mengenai kondisi utang di Indonesia, kita tetap menjaga konsolidasi APBN,” kata Sri Mulyani dalam konferensi pers KSSK, Rabu (13/4).

Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini menuturkan, pihaknya memanfaatkan Saldo Anggaran Lebih (SAL) dan kerja sama burden sharing dengan Bank Indonesia (BI) yang masih berlangsung sepanjang tahun 2022.

Berkat optimalisasi sumber tersebut, dia bilang, penerbitan utang sudah menyusut hingga sekitar Rp 100 triliun per Maret 2022. Adapun per Februari 2022, penarikan utang sudah turun 66,1 persen.

Realisasi pembiayaan melalui penerbitan utang di bulan itu sebesar Rp 92,9 triliun atau 9,5 persen dari target APBN Rp 973,6 triliun. Pembiayaan menyusut dari Rp 273,8 triliun di Februari tahun 2021. Sehingga, rasio utang RI relatif lebih kecil dibanding negara lain.

Indonesia juga melakukan reformasi perpajakan. Sejak 1 April 2022, Indonesia menaikkan tarif PPN menjadi 11 persen dan pada 2025 akan kembali naik menjadi 12 persen.

Selain itu, pemerintah juga menambah layer tarif pajak penghasilan untuk wajib pajak berpendapatan di atas Rp 5 miliar per tahun, yaitu akan dikenakan tarif pajak penghasilan sebesar 35 persen.

Dari sisi inflasi, laju inflasi Indonesia saat ini juga masih rendah, yakni 0,66 persen secara bulanan atau 2,64 persen secara tahunan. Bank Indonesia juga masih menahan suku bunga acuan 3,5 persen di bulan ini.

Utang Luar Negeri Indonesia

Kondisi utang luar negeri Indonesia berbeda dengan Sri Lanka. Dari data Bank Indonesia per Februari 2022, utang luar negeri Indonesia justru menurun 1,5 persen (yoy) menjadi USD 416,3 miliar.

Negara pemberi pinjaman terbesar pertama di Indonesia adalah Singapura sebesar USD 61,72 miliar per Februari 2022, disusul Amerika Serikat USD 31,89 miliar, Jepang sebesar USD 26,50 miliar, selanjutnya China sebesar USD 20,78 miliar, serta Hong Kong sebesar USD 16,78 miliar.

Adapun cadangan devisa Indonesia pada Maret 2022 sebesar USD 131,9 miliar, setara dengan pembiayaan 7,2 bulan impor atau 7,0 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Cadangan devisa RI ini di atas standar kecukupan internasional sebesar 3 bulan impor.

Utang luar negeri Indonesia pada Februari 2022 juga dinilai tetap terkendali, tercermin dari rasio ULN Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang relatif stabil di kisaran 34,2 persen, sedikit meningkat dibandingkan rasio pada bulan sebelumnya yang sebesar 34,0 persen.

Selain itu, struktur utang luar negeri Indonesia tetap sehat, ditunjukkan oleh utang luar negeri Indonesia yang tetap didominasi oleh utang luar negeri berjangka panjang, dengan pangsa mencapai 87,8 persen dari total utang luar negeri. {kumparan}