Tekno  

LinkAja hingga JD.ID Kompak Lakukan PHK, Apa Yang Terjadi Dengan Startup RI?

Perusahaan startup mulai dari LinkAja, Zenius, SiCepat, hingga e-commerce JD.ID secara bersamaan kompak melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) kepada karyawannya.

Startup tersebut menyampaikan berbagai alasan terkait keputusan PHK karyawannya, seperti ekonomi makro serta kepentingan reorganisasi atau terkait Sumber Daya Manusia (SDM) perusahaan.

Dalam hal ini, Director of General Management JD.id, Jenie Simon, mengatakan pihaknya berusaha memberikan pelayanan yang terbaik bagi pelanggan melalui serangkaian upaya improvisasi dan pengambilan keputusan agar JD.id dapat terus beradaptasi dan selaras dengan dinamika pasar dan tren industri di Indonesia.

Janie menambahkan, upaya improvisasi yang dimaksud adalah dengan melakukan peninjauan, penyesuaian hingga inovasi atas strategi bisnis & usaha.

Kemudian, JD.id juga melakukan pengambilan keputusan seperti tindakan restrukturisasi, yang mana di dalamnya terdapat juga pengurangan jumlah karyawan.

“Sehubungan dengan pengambilan keputusan ini, maka JD.id akan patuh dan tunduk terhadap regulasi ketenagakerjaan sesuai dengan peraturan pemerintah, dan akan memperlakukan dan memberikan hak karyawan, sebagaimana diatur dalam regulasi tersebut,” terang Jenie.

Tanggapan Ekonom soal Ramai-ramai Startup PHK Karyawan
Menanggapi fenomena PHK yang dilakukan oleh beberapa startup tersebut, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menilai beberapa startup mengalami kesulitan pendanaan setelah rencana bisnisnya terdampak pandemi dan penurunan user secara signifikan.

Menurut dia, pandemi memang membuat lonjakan pelanggan internet, namun tidak semua merata dirasakan oleh startup.

Faktor lain, kata Bhima, adalah kondisi kenaikan tingkat suku bunga yang dilakukan berbagai negara yang membuat investor mencari aset yang lebih aman.

“Imbasnya saham startup teknologi dianggap high risk. Maka banyak yang meramal tahun ini adalah winter-nya startup, alias tekanan sell-off besar-besaran di industri digital,” jelas Bhima kepada kumparan, Rabu (25/5).

Menurut Bhima, saat ini startup sedang kesulitan dalam mendapatkan pendanaan baru karena investor makin selektif.

Mengulang tech bubble tahun 2001, ujungnya akan tersisa champion yang memang bisnis model nya teruji.

“Dulu kan ada Amazon, E-bay yang lolos ujian Dotcom bubble, mungkin sekarang waktunya startup di Indonesia diuji oleh pasar,” imbuhnya.

Faktor berikutnya menurut Bhima adalah peta persaingan startup yaitu winner takes all. Dirinya menjelaskan e-commerce ada top 3 pemain, maka dari itu pemain kecil akan sulit bersaing.

Pada sektor edutech, menurut Bhima banyak yang tidak bersaing akibat kurangnya pendanaan sehingga tersisih dari pasar. Selain itu, faktor promo dan bakar uang efektif mengurangi jumlah persaingan secara signifikan.

“Startup yang cashflow-nya tidak kuat maka kalah dan digantikan oleh startup yang gencar promosi. Ada juga yang tidak mampu menempatkan diri dalam persaingan yang jenuh.

E-commerce itu sudah saturated, begitu juga dengan bisnis payment atau dompet digital, edutech saya lihat sudah mulai jenuh,” jelasnya.

Sementara itu, Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah mengungkapkan PHK yang terjadi di startup tidak sepenuhnya terkait dengan pelemahan ekonomi global.

Menurutnya, PHK tersebut lebih disebabkan karena kondisi internal startup yang tidak cukup mampu bertahan.

Hal tersebut menurutnya bisa dikarenakan faktor pasar, atau juga karena faktor kesalahan perencanaan dan operasional
“Oleh karena itu saya perkirakan Patah tumbuh hilang berganti. Dampak nya sekarang ini akan minimal terhadap perekonomian makro. Startup yang tutup akan digantikan yang baru,” tutur Piter.

Menanggapi hal yang sama ,Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Nailul Huda menilai kejadian PHK di startup memang terkait pendanaan. Menurutnya, perusahaan startup masih butuh pendanaan untuk beroperasional.

“Makanya, ketika gagal mendapatkan pendanaan, biasanya mereka akan kelimpungan hingga tidak bisa beroperasi secara normal.

Mereka biasanya melakukan layoff kepada karyawannya untuk menghemat budget,” jelas dia kepada kumparan, Rabu (25/5).

Dirinya juga menyebutkan bahwa model utama startup yang masih bakar uang membuat mereka ketergantungan dengan pendanaan dari Venture Capital (VC) atau sumber pendanaan lainnya.

Nailul menjelaskan hal tersebut perlu dihindari.

Menurut Nailul startup harus pintar mencari VC yang dipercaya oleh beberapa perusahaan besar, sehingga VC lainnya tertarik memberikan pendanaan lanjutan.

“Saya khawatir, semakin sedikit pendanaan, kemudian startup semakin banyak dan eksponensial, bisa terjadi bubble,” pungkas Nailul.(Sumber)