Partai-Partai Islam di Pinggir Jurang

Semua kekuatan Islam politik mengalami persoalan masing-masing menjelang Pemilu 2024. Partai-partai yang bernapas Islam tidak sedang baik-baik saja. Kalau tidak mau dibilang sakit parah, maka paling tidak demamnya dapat berdampak pada komorbid atau penyakit berat bawaan.

Partai Islam terbesar di parlemen saat ini adalah PKB, yang sedang menahan ombak besar. Kepemimpinan Muhaimin Iskandar mulai dipertanyakan, terutama dari tokoh-tokoh Nahdatul Ulama yang lebih dekat dengan kelompok Presiden KH Abdurahman Wahid.

Secara terbuka, Yenny Wahid melayangkan kritiknya terhadap Muhaimin yang elektabilitasnya tidak mengalami kenaikan.

Tentunya, apa yang didapatkan oleh Gus Muhaimin tidak lepas dari kekalahan proxy politiknya dalam perebutan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdatul Ulama.

KH Yahya Staquf yang terpilih kemudian menyatakan netralitas NU dari suatu kekuatan politik, meski pengurus strategisnya kebanyakan adalah pentolan berbagai partai politik. Tentu, kita dapat menduga maksud dari Gus Yahya adalah hubungan NU dan PKB yang selama ini mesra.

Berkoalisi dengan Partai Gerindra bukanlah solusi terhadap masalah PKB hari ini. Bisa saja, PKB akan makin ditinggalkan oleh konstituen NU yang belum tentu bisa langsung cocok dengan sosok Prabowo Subianto.

Sebagai partai Islam kedua terbesar, PKS juga mengalami problem tersendiri. Anies Baswedan yang selama ini menjadi piala mereka malah diumumkan oleh Partai Nasdem sebagai kandidat calon Presiden terlebih dahulu.

PKS dan Anies Baswedan yang selama ini dianggap senapas punya hitung-hitungan yang juga belum tuntas. Tentunya, ini akan menjadi pertanyaan publik.

Kalau melihat basis politik, konstituen PKS mayoritas memiliki asosiasi dengan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Kekuatan Akar rumput PKS tentu akan mengalami dilema.

Tidak terbayangkan, PKS akan berhadap-hadapan dengan Anies. Tentu, elit PKS tidak memiliki pilihan yang banyak bila ingin selaras dengan pilihan konstituennya.

Jika dukungan kepada Anies diumumkan lebih awal, maka konsolidasi simpatisan dan pemilih PKS akan semakin cepat dilakukan. Mesin politik PKS yang terkenal militan tentunya akan semakin optimal.

Sementara itu, PAN dan PPP sudah bergabung dengan Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang dibentuk bersama Partai Golkar.

Kalau calon presiden yang diajukan adalah Ketua Umum Golkar Airlangga Hartato, tentunya kerja keras ekstra dibutuhkan untuk menjaga kekuatan politik dua partai Islam ini.

Sampai hari ini, koalisi ini mengaku masih menyusun program yang hendak diusung oleh siapapun capresnya. Cara ini tentunya sangat ideal di dalam demokrasi multipartai hari ini, ide menjadi yang utama ketimbang memunculkan nama tokoh. Gagasan lebih dahulu ketimbang figur. Idea first.

Namun, sesuatu yang ideal sering kali harus berbenturan dengan realitas politik. PAN dan PPP butuh sosok yang memudahkan calon anggota legislatif mereka berkampanye.

Seorang kandidat legislatif butuh capres yang tidak menimbulkan resistensi dari publik di tempat dimana dia bertarung. Faktor ini sangat penting bagi PAN dan PPP yang perolehan suaranya sangat bergantung kepada ketokohan caleg-calegnya.

Memang di tingkat pemilih, coat-tail effect dari seorang capres yang ditunjukkan dalam berbagai post-election survey tidak dinikmati oleh semua partai. Hanya partai pengusung utama menikmati kue terbesar. Namun, calon anggota legislatif punya rasa aman jika capres yang didukung sesuai dengan animo dapilnya.

Caleg-caleg potensial yang ingin mencalonkan diri selalu memperhitungkan siapa capres yang akan diusung oleh partainya. Kesamaan tersebut akan mempermudah mereka mendekati simpul pemilih di daerah pemilihan.

Dari berbagai hasil riset, electoral connection merupakan faktor yang paling diperhitungkan oleh kandidat legislatif. Mereka cenderung akan memilih partai yang memiliki capres kuat di dapil tempat mereka akan mencalonkan diri. Capres usungan pasti menjadi pertimbangan utama bagi seorang kandidat legislatif yang hendak mencalonkan.

Oleh karena itu, caleg dari partai-partai Islam seperti PAN dan PPP yang tidak memiliki ikatan kaderisasi sekuat PKS sangat mungkin lompat pagar. Kemungkinan ini juga bisa saja terjadi pada calon anggota legislatif di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.

Jika sampai pendaftaran caleg, KIB belum mengumumkan capresnya. Bisa saja, PPP ditinggalkan bakal caleg potensial atau anggota legislatifnya saat ini dari Jawa Timur dan Jawa Tengah yang lebih memilih partai pengusung capres favorit kalangan nahdiyin.

Sementara, PAN bisa saja kehilangan caleg-caleg potensial, yang lebih menemukan kecocokan dengan partai pengusung kandidat yang digemari oleh pemilih Islam perkotaan. Prabowo Subianto menguasai segmen pemilih ini pada pemilu yang lalu, namun pada 2024 nanti diprediksi akan banyak didapatkan juga oleh Anies Baswedan.

Partai-partai Islam akan menghadapi tantangan besar di Pemilu 2024. Maka, perhitungan yang tepat dalam menentukan arah dalam pemilu presiden akan sangat berpengaruh. Jika tidak kuat berhadapan dengan ombak besar, siap-siap terdampar di pulau tak berpenghuni.

(Sumber)