News  

Eks Konsultan Politik Ini Sukses Jadi Miliarder Saat Banting Setir Sebagai Peternak Kambing

Memaksimalkan potensi untuk mendapatkan cuan dari berbagai sumber tentu menjadi harapan siapa saja. Termasuk bagi mereka yang sudah dalam posisi zona nyaman dengan gaji dan failitas yang diberikan perusahaan.

Sunarto Ciptoharjono adalah satu contoh eksekutif yang bisa dibilang sukses memaksimalkan potensi yang dimiliki. Pria asal Bantul ini merupakan seorang profesional yang dikenal sebagai surveyor dan konsultan politik yang bernaung di Lingkaran Survei Indonesia (LSI).

Direktur Lingkaran Survei dan Kebijakan Publik (LSKP) LSI. Itulah jabatan yang diemban pria yang akrab disapa Cak Narto ini. Sebagai konsultan politik, ia banyak dipercaya mendampingi tokoh-tokoh yang ingin menjadi pemimpin lewat jalur Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) maupun Pileg (Pemilihan Legislatif). “Alhamdulillah cukup banyak klien yang berhasil meraih impian menjadi pejabat di daerah,” kata Cak Narto.

Sebagai eksekutif di lembaga survei yang sudah punya nama, penghasilan yang didapat Cak Narto sebenanrya sudah lebih dari cukup. Namun demikian, ia sering berpikir untuk mencoba usaha di luar rutinitas yang dijalankannya. “Saya ingin mencoba mengembangkan potensi bisnis di luar profesi yang sudah saya jalani,” kata alumni Fisipol UGM ini.

Tanpa sengaja, Cak Narto akhirnya menemukan peluang bisnis dari budidaya kambing. Ide bisnis ini ternyata berawal dari rasa rindu kampung halamannya di Pundong, `Bantul. Untuk memenuhi hasrat rasa kangen suasana ndeso, ia berniat membangun ruman bernuansa desa yang masih asri dengan banyak pepohonan buah-buahan.

Dalam mimpinya, Cak Narto juga ingin memelihara beberapa jenis unggas seperti ayam kalkun dan angsa. Selain itu, ada juga kambing dan domba. “Yang saya kangeni adalah kambing,” kata bapak satu anak yang masa kecilnya pernah angon kambing ini.

Namun, sebelum mengeksekusi program rumah bernuansa etnik tersebut, ia harus berpikir ulang untuk mewujudkan impiannya. Ini terkait dengan biaya besar untuk operasional harian. Ia pun putar otak sejenak untuk tetap memenuhi rasa kangen suasana desa tapi tidak keluar biaya, bahkan bisa mendapatkan keuntungan. “Tiba-tiba muncul ide untuk membangun kawasan peternakan kambing,” ungkapnya.

Menurut Cak Narto, beternak kambing bisa memberi manfaat secara spiritual dan finansial. Secara spiritual bisa menjadi obat rindu dengan menjalani kehidupan bernuansa desa. Sedangkan secara finansial bisa menjadi sumber pendapatan alternatif di luar profesi utamanya sebagai konsultan politik.

Ia tak ingin membiarkan idenya hanya sekedar menjadi mimpi dengan berupaya untuk mewujudkannya. Ia bikin planning bisnis lengkap, mulai dari kebutuhan modal hingga potensi keuntungan.

Kebetulaan, Cak Narto mendapatkan kepercayaan untuk mengelola lahan seluas 5 hektar tidak jauh dari rumah tinggalnya di Tegalsalam,Cariu,, Bogor. Di lahan cukup luas inilah, ia mendirikan Tegalsalam Farm. Ia membagi area kandang, produksi rumput dan gudang pakan.

Sadar karena masih miskin akan pengalaman beternak, ia menimba ilmu dari Google dan Youtube. Namun untuk lebih akurat, `Cak Narto belajar langsung ke peternak yang menyelenggarakan pelatihan budidaya kambing. Ia rela membayar hingga jutaan rupiah demi mendapatkan ilmu peternakan yang akan ditekuninya.

Cak Narto berkeyakinan, pilihannya untuk melakoni usaha peternakan kambing merupakan pilihan yang tepat. Ia melihat masih banyak peluang besar di sektor peternakan kambing. Peluang market–nya masih cukup besar dan belum ada pengusaha yang dominan menguasai. “Bisnis kambing masih kategori blue ocean karena belum ada konglomerat yang memonopoli seperti ayam dan sapi,” tandas Cak Narto.

Sejak tahun 2019, Cak Narto mulai membangun kawasan peternakan seluas 5 hektar. Namanya Tegalsalam Farm, berlokasi di Cariu, Bogor, Jabar. Awalnya ia mencoba usaha pembibitan dengan menyediakan bibit-bibit pejantan dan betina yang bagus. Ia juga menyiapkan kandang berkapasitas 1500 ekor untuk penggemukan.

Cak Narto terbilang mujur. Meski pendatang baru dan tahan uji coba, tapi usaha ternaknya dibilang sukses. Ia bisa meraih pendapatan sesuai dengan kalkulasi awal. “ Patut disyukuri bisa berbagi dividen dengan investor,” kata Cak Narto kepada SWA.

Menurutnya, untuk mengembangkan ternak tersebut, ia memang tidak menggunakan modal pribadi tapi melibatkan para sohib-nya. Ia mengumpulkan modal dengan model crowd funding equity. “Saya melakukan presentasi kepada teman-teman dan mereka tertarik gabung, kalau ada untung dibagi kalo rugi ditanggung bersama,”ungkapnya.

Dengan keberhasilan tersebut, Cak Narto bisa membuktikan bahwa ternak kambing bisa menjadi alternatif usaha yang memiliki prospek cerah. Kalau dikelola secara profesional bisa memberikan keuntungan yang menggiurkan. “Kuncinya di manajemen, harus dikelola dengan manajemen yang baik” tandasnya.

Bahkan Cak Narto merasa yakin, dari peternakan kambing bisa melahirkan miliarder baru. Tentu saja ada skala bisnis yang harus dipenuhi. Untuk menjadi miliader, minimal harus memiliki ribuan ekor ternak kambing. “Skala ekonomi ternak kambing atau domba idealnya per seribu ekor,”kata Cak Narto.

Sebagai gambaran riil, Cak Narto memiliki hitung-hitungan bisnis bisnis. Misalnya untuk menggemukkan 1000 ekor dibutuhkan bakalan berumur kisaran 6 bulan dengan bobot 15 kg yang harga perekor Rp 705 ribu. Dengan asumsi harga Rp 47.000//kg.

Jadi total butuh Rp 705 juta. Sementara biaya operasional pakan obat dan tenaga kerja Rp 3 rb/perhari/ per ekor, atau Rp 270 ribu/ekor selama 3 bulan. Artinya butuh total butuh 270 juta untuk 1.000 ekor kambing. Jadi, ditambah dengan modal bakalan modal keseluruhan Rp 975 juta untuk 3 bulan.

Bagaimana hasilnya? Masih berdasarkan hitungan Cak Narto, dalam sebulan Domba bisa bertambah bobot antara 3-6 kg. Kalau diambil angka moderat, maka penambahan bobot domba 4kg/ekor/bulan. Maka dalam 3 bulan kita akan mendapatkan tambahan bobot 12kg/ekor.

Kalau 1000 ekor maka penambahan bobotnya adalah 12.000 kg. Domba yang tadinya beratnya 15kg, dalam kurun 3 bulan menjadi 27kg. Harga jual Domba betina di pasaran untuk saat ini adalah Rp50.000/kg. Maka hasil panenan dalam 3 bulan tersebut adalah Rp 1.350.000.000 (27kg x 50.000 x 1000).

Setelah dikurangi dengan modal bakalan dan ongkos perawatan sebesar Rp 975.000.000, maka keuntungan bersihnya adalah sebesar Rp375.000.000. Berarti pendapatan peternak per bulannya adalah Rp 125.000.000. Artinya dalam setahun penghasilan bisa mencapai Rp 1,5 milyar. “Ini fakta bukan omong kosong, sangat mungkin peternak menjadi miliarder,” tegasnya.

Pendapatan tersebut baru dari satu sumber hasil penjualan ternak. Sementara dalam peternakan ada potensi penghasilan lain. Bisa jadi dari hasil lini bisnis lain pengembangan dari peternakan. Idealnya peternakan harus dikembangkan dari hulu ke hilir. “Yang saya jalani, revenue bukan hanya dari hasil penjualan ternak saja tapi dari penjualan bibit, produksi pakan, pupuk, bakalan, karkas hingga kuliner,” Cak Narto menerangkan.

Dalam pengembangan ternak kambing, Cak Narto mengakui ada semacam kendala psikologis. Ini terkait dengan pandangan orang bahwa kambing identik dengan sesuatu yang kotor, jorok, bau da rendahan. “Ada idiom kelas kambing yang menunjukkan adanya anggapan kambing sebagai kasta rendah,” ucapnya.

Namun, bagi Cak Narto, berbisnis bukan soal gengsi,tapi soal pilihan untuk mendapatkan keuntungan. Ia justru merasa senang bila bisnis yang dijalankanya tidak diperhitungkan.”Dalam strategi perang, ibarattnya kita terbang tanpa dideteksi radar, tapi tiba-tiba melakukan serangan yang mematikan,” ujarnya.

Cak Narto yang terbiasa mengangkat citra para tokoh yang ingin menjadi pejabat publik, kini sedang berusaha mengangkat citra peternakan kambing menjadi peternakan yang bergengsi.

Yang pertama dilakukannya adalah menghilangkan kesan bahwa ternak kambing identik dengan kotor dan bau. Dan, ia sudah berhasil menghilangkan kesan tersebut. “Saya yakin akan banyak yang minat karena makin sempitnya peluang usaha, banyak yang akan beralih ke ternak kambing,” ungkapnya.

Kini Tegalsalam Farm telah berkembang menjadi holding dan memiliki beberapa anak perusahaan. Setidaknya ada tiga anak perusahaan masing-masing, Tegalsalam Hijau sebagai pemasok rumput, Tegalsalam Ransum sebagai penyedia pakan olahan dan Tegalsalam Distribusi yang khusus untuk mengelola penjualan daging kambing untuk konsumsi.

Cak Narto telah memproyeksikan agar Tegalsalam Farm terus berkembang dari tahun ke tahun. Pertengahan tahun ini, dia membuka unit kuliner resto sate Tegalsalam yang berlokasi di kawasan Bintaro, Jakarta.

Kehadiran Sate Tegalsalam mendapat respon sangat bagus dari konsumen. Setidaknya rata-rata perhari resto ini bisa menghabiskan dua ekor kambing. “Kami berharap makin banyak ternak kami terjual di warung sendiri,” ujarnya.

Setelah berhasil menguasai teknik budidaya, Cak Narto aktif membagikan ilmunya lewat medsos. Ia juga membuka kelas pelatihan bagi siapa saja yang berminat menekuni usaha peternakan kambing. Ternyata peminatnya cukup banyak. “Kami sudah membuka dua kelas dan selalu full peserta,” tuturnya lagi.

Cak Narto merasa bersyukur dengan keberhasilannya mengembangkan Tegalsalam Farm. Bukan keuntungan finansial semata yang membuatnya merasa bahagia, tapi ada semacam kepuasan batin tersendiri. Setidaknya perasaan rindu akan rumah di kampung halaman bisa terobati. “Ketika melihat kambing tumbuh sehat, saya jadi teringat masa kecil di desa dulu karena sudah biasa angon kambing,” ungkap Cak Narto mengenang masa kecilnya.

Dalam waktu dekat, bapak satu anak ini akan mengembangkan marketplace khusus untuk perdanganan kambing online. Ia akan menjalin kerjasama dengan para peternak untuk bisa memasarkan hasil ternaknya lewat marketplace tersebut. “Saya masih menyiapkan aplikasinya. Tahun ini direncanakan launching,” ujar Cak Narto. {sumber}