Tekno  

Dampak Lockdown COVID-19 di China, Alibaba Merugi Hingga Rp.45 Triliun

Alibaba Group Holding Ltd. melaporkan kinerja negatif di kuartal III di 2022 dengan membukukan kerugian bersih sebesar 2,9 miliar dolar AS atau sekitar Rp 45 triliun (dengan asumsi kurs Rp 15.680).

Penurunan tersebut terjadi sebagai imbas dari pengetatan kontrol Covid yang diberlakukan Pemerintah China, meski langkah tersebut mampu menghambat penyebaran kasus positif Covid-19.

Namun akibat dari diberlakukannya kebijakan ini, perlahan memberikan tekanan serta perlambatan arus konsumsi pada semua pasar China.

Alibaba saat ini tmengalami gangguan logistik hingga akhirnya perusahaan gagal mengumumkan hasil penjualan penuh selama digelarnya festival belanja Singles’ Day,

Kegagalan ini merupakan kali pertama yang dialami Alibaba dalam 14 tahun terakhir.

Khawatir kebijakan lockdown semakin memukul pendapatan Alibaba, Pada hari Kamis (18/11/2022) kemarin para eksekutif berkumpul untuk menyuarakan kebijakan pelonggaran pada pemerintah pusat.

Meski keputusan tersebut belum mendapatkan respon dari otoritas China, adanya pelonggaran wilayah membuat Chief Executive Officer Alibaba Daniel Zhang optimistis pendapatan perusahaan dapat membaik.

Harapannya kinerja Alibaba bisa mengalahkan pesainganya, yakni Amazon.com Inc. dan Sea Ltd. yang didukung Tencent Holdings Ltd.

Mengingat beberapa bulan terakhir kebijakan lockdown atau pembatasan pandemi telah menggerogoti logistik, meredam aktivitas ritel, hingga memicu timbulnya malapetaka bagi ekonomi negara terbesar kedua di dunia.

“Kami percaya bahwa Covid pada akhirnya akan berlalu, bahwa masyarakat kita, ekonomi kita, dan kehidupan kita pada akhirnya akan kembali normal, dan potensi besar China sebagai ekonomi terbesar kedua di dunia akan semakin meningkat,” kata Zhang.

Berbeda dari Amazon, perusahaan teknologi asal China lainnya yakni Douyin atau TikTok justru mencatatkan lonjakan pendapatan sebanyak 86 persen pada festival belanja Singles’ Day yang digelar pada 31 Oktober hingga 11 November 2022.

Untuk menunjang pendapatan Alibaba selama beberapa bulan kedepan, mereka akan mencari listing utama di Hong Kong sekaligus mempertahankan status listingnya di New York Stock Exchange.

Langkah tersebut diambil untuk menarik banyak investor agar pendapatan Alibaba dapat mengembalikan kerugian di kuartal sebelumnya

Amazon, pesaing Alibaba kini juga mengalami penurunan kinerja hingga membuat perusahaan itu mem-PHK karyawannya tahun ini.

Bahkan, CEO Amazon, Andy Jassy mengumumkan rencana memperpanjang pemangkasan sejumlah karyawan Amazon hingga 2023 mendatang.

“Keputusan tersebut berlanjut hingga 2023, kami belum menyimpulkan secara pasti tetapi berapa tim akan terpengaruh,” ujar Jassy, Jumat (18/11/2022).

 

Pengumuman tersebut dia sampaikan usai Amazon melakukan PHK terhadap 10.000 pegawai yang akan mewakili karyawan dari berbagai tim termasuk layanan voice assistant Alexa, serta layanan pada perangkat dan buku Amazon pada awal pekan kemarin.

“Saya telah memegang peran ini selama sekitar satu setengah tahun, dan tanpa diragukan lagi, ini adalah keputusan tersulit yang pernah kami buat selama itu dan, kami harus membuat keputusan yang sangat sulit selama beberapa tahun terakhir, terutama di tengah pandemi,” tulis Jassy dalam sebuah memo yang dikirimkan kepada para pekerja.

Andy Jassy hingga kini masih belum menjelaskan divisi mana saja yang akan terdampak pemecatan pada 2023 mendatang.

Namun melansir dari Bloomberg pemangkasan diperkirakan akan menyasar sejumlah karyawan dari layanan Amazon seperti divisi perangkat kesehatan Halo, tim dari layanan robot Astro, divisi produk rumah pintar Kindle serta karyawan di dicspeaker Echo.

Tindakan yang dilakukan Amazon ini akan menambah beban pengangguran di Amerika Serikat.

Namun, terkait PHK ini manajemen Amazon menyatakan akan membantu pekerja yang terdampak PHK mendapatkan pekerjaan atau peran baru di dalam perusahaan.

Perusahaan teknologi yang berbasis di Seattle Washington ini juga akan menawarkan pesangon, tunjangan transisi, serta pembelian saham sukarela.

“Amazon akan menawari karyawan dengan posisi baru, namun bagi mereka yang tidak dapat menemukan posisi baru, Amazon akan memberikan pesangon, tunjangan transisi, dan dukungan untuk mencari pekerjaan di tempat lain.” kata Dave Limp, wakil presiden senior perangkat dan layanan Amazon.

Menurut informasi yang beredar, pemecatan oleh Amazon terjadi lantaran perusahaan saat ini tengah dilanda ketidakpastian ekonomi, akibat penurunan tajam pada pendapatan.

Selama beberapa bulan terakhir Amazon mengalami kerugian hingga 1 triliun dolar AS atau setara Rp 15 kuadriliun (dengan asumsi kurs Rp 15.694)

Khawatirkan, kondisi ini akan membuat perusahaan makin terpukul selama musim liburan mendatang, mendorong Amazon melakukan pemangkasan untuk menghemat laju pengeluaran.

Sebelum mengalami kemunduran, raksasa teknologi ini sempat meraup keuntungan yang fantastis selama pandemi terlebih setelah pihaknya meluncurkan beberapa strategi penjualan seperti pemanfaatan layanan cloud computing.

Saking banyaknya konsumen yang berbondong-bondong melakukan belanja online di Amazon, perusahaan ini bahkan menggandakan tenaga kerjanya selama dua tahun terakhir.

Namun setelah perang antara Rusia dan Ukraina mencuat pada awal tahun ini, sektor perekonomian dunia perlahan mengalami guncangan.

Kondisi tersebut bahkan memicu timbulnya gejolak pada sejumlah bisnis teknologi, hingga Amazon mengalami perlambatan pertumbuhan dan sahamnya jatuh lebih dari 40 persen di sepanjang tahun ini.

Berbagai cara mulai diterapkan Amazon untuk mencegah kehancuran perusahaan.

Diantaranya dengan menutup layanan perawatan kesehatan primer Amazon Care, serta mengurangi operasi dari perusahaan perlengkapan menjahit Fabric.com dan pabrik robot Scout.

Akhir April lalu Amazon juga turut mengurangi jumlah karyawan hampir 80.000 orang.

Namun cara tersebut tampaknya belum cukup mampu membuat pertumbuhan Amazon bangkit justru perusahaan ini semakin melemah hingga jatuh ke level terendah sejak 2001.

Alasan tersebut yang mendorong Amazon mengambil langkah ekstrem dengan memecat ribuan karyawannya seperti yang dilakukan Meta dan Twitter baru-baru ini.(Sumber)