Tekno  

JD.id Pecat 200 Orang, 30 Persen Dari Total Karyawan di Indonesia

Perusahaan e-commerce JD.id melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap 30 persen karyawannya, atau sekitar 200-an orang, pada Selasa (13/12).

Dalam pernyataan tertulis kepada kumparanTECH, manajemen JD.id mengatakan perlu melakukan perampingan sumber daya manusia sebagai langkah “menjawab tantangan perubahan bisnis”.

JD.ID berjanji untuk terus memberikan dukungan kepada 200-an (30%) karyawan yang terdampak dengan tetap memberikan manfaat asuransi serta memberikan dukungan berupa talent promoting, serta hak-hak lain yang sesuai dengan peraturan dan perundangan yang berlaku.

Langkah adaptasi perlu diambil perusahaan untuk menjawab tantangan perubahan bisnis yang sungguh cepat belakangan. Salah satu Langkah yang diambil manajemen adalah melakukan perampingan agar perusahaan dapat terus bergerak menyesuaikan dengan perubahan.
– Setya Yudha Indraswara, Head of Corporate Communications & Public Affairs JD.id –

PHK massal kedua
Ini adalah kali kedua JD.id melakukan PHK massal. Pada Mei 2022 lalu, JD.id melakukan reorganisasi dengan memotong jumlah karyawan. Meski tidak diumumkan secara resmi, dikabarkan sekitar 200 orang terkena dampak PHK kala itu.

Sementara itu, induk perusahaan JD.id, yaitu JD.com, dikabarkan akan mundur dari pasar Asia Tenggara. Media South China Morning Post (SCMP) menyebutkan e-commerce tersebut akan fokus di negara asalnya, China, dan cabut dari pengelolaan JD Indonesia dan Thailand.

Media Xiaguangshe asal China mengatakan ekspansi di kedua wilayah tersebut telah memakan biaya 1,39 miliar dolar AS selama delapan tahun terakhir.

Laporan SCMP tersebut menyebut JD sedang mencari investor yang mau mengambil alih bagian mereka di JD.id (Indonesia) dan JD Central (Thailand).

JD.id didirikan pada 2015 sebagai ekspansi JD.com di Indonesia, dan merupakan hasil kerja sama dengan Provident Captial Partner, sementara JD Central berbasis di Bangkok didirikan pada 2017.

Keputusan ini diambil karena JD.com kesulitan menaikkan omzet penjualan di kedua negara, sekaligus biaya yang membengkak karena naiknya biaya hidup.

Ditambah, kenaikan suku bunga dari sejumlah bank sentral berbagai negara yang memperburuk kondisi ketidakpastian global.(Sumber)