News  

Bikin Malu! Jimly Asshiddiqi: Hakim Yang Putuskan Tunda Pemilu 2024 Layak Dipecat!

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie menilai hakim yang memutuskan pemilu 2024 ditunda layak dipecat.

 

Jimly Asshiddiqie berkomentar keras terhadap putusan hakim yang menunda pemilu 2024 itu karena bikin malu.

 

Sehingga Jimly Asshiddiqie meminta Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY) minta turun tangan terhadap putusan hakim yang menunda pemilu 2024.

Secara umum kita tidak boleh menilai putusan hakim karena kita harus menghormati peradilan. Tapi ini keterlaluan. Hakimnya layak dipecat. Bikin malu,” ujar Jimly seperti dilansir dari Kompas.com, Kamis (2/3/2023).

 

Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat mengabulkan gugatan Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) terkait proses verifikasi partai politik peserta Pemilu 2024.

 

Terkait putusan hakim itu, Jimly mengaku harus berkomentar keras karena contoh buruh profesionalisme dan penghayatan hakim terhadap perundangan.

 

“MA dan KY harus turun tangan, hakimnya layak dipecat,” kata dia.

 

Menurut dia, hakim PN Jakarta Pusat itu mencampuradukkan hukum perdata dan hukum administrasi dalam perkara gugatan Prima soal verifikasi partai politik peserta pemilu 2024.

 

“Hukum administrasi dan tata negara tidak bisa dia bedakan. Juga soal perbuatan melawan hukum yang harus dipahami benar oleh penguasa yang bertindak tidak adil kepada rakyat atau yang biasa. Ini dia tidak memahami,” kata Jimly.

Sripoku.com

 

Home

News

Nasional

Berita Palembang

Bikin Malu, Jimly Asshiddiqi Sebut Hakim yang Putuskan Pemilu 2024 Ditunda Layak Dipecat

Jumat, 3 Maret 2023 08:30 WIB

Editor: Yandi Triansyah

zoom-inBikin Malu, Jimly Asshiddiqi Sebut Hakim yang Putuskan Pemilu 2024 Ditunda Layak Dipecat

Ist/handout

A-A+

Jimly Asshiddiqie

SRIPOKU.COM – Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie menilai hakim yang memutuskan pemilu 2024 ditunda layak dipecat.

 

Jimly Asshiddiqie berkomentar keras terhadap putusan hakim yang menunda pemilu 2024 itu karena bikin malu.

 

Sehingga Jimly Asshiddiqie meminta Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY) minta turun tangan terhadap putusan hakim yang menunda pemilu 2024.

 

 

“Secara umum kita tidak boleh menilai putusan hakim karena kita harus menghormati peradilan. Tapi ini keterlaluan. Hakimnya layak dipecat. Bikin malu,” ujar Jimly seperti dilansir dari Kompas.com, Kamis (2/3/2023).

 

Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat mengabulkan gugatan Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) terkait proses verifikasi partai politik peserta Pemilu 2024.

 

Terkait putusan hakim itu, Jimly mengaku harus berkomentar keras karena contoh buruh profesionalisme dan penghayatan hakim terhadap perundangan.

 

“MA dan KY harus turun tangan, hakimnya layak dipecat,” kata dia.

 

Menurut dia, hakim PN Jakarta Pusat itu mencampuradukkan hukum perdata dan hukum administrasi dalam perkara gugatan Prima soal verifikasi partai politik peserta pemilu 2024.

 

“Hukum administrasi dan tata negara tidak bisa dia bedakan. Juga soal perbuatan melawan hukum yang harus dipahami benar oleh penguasa yang bertindak tidak adil kepada rakyat atau yang biasa. Ini dia tidak memahami,” kata Jimly.

 

 

Bahkan kata Jimly, hakim sudah ikut campur dalam perkara pada persoalan pemilu yang sama sekali bukan kewenangannya dan bukan urusannya.

 

“Ketika amar putusannya mengubah jadwal tahapan, yang bisa berdampak ataupun tidak pada penundaan pemilu, (itu) tetap bukan kewenangan pengadilan perdata untuk memutuskannya,” ujar Jimly.

 

Hukum perdata, ungkap Jimly, seharusnya mengurusi masalah perdata saja, yang itu adalah urusan privat.

 

Ketika terbukti ada kerugian dari penggugat, hakim semestinya hanya menjatuhkan sanksi perdata.

 

“(Pengadilan perdata) hanya membuktikan pelanggaran perdata yang dilakukan tergugat, (yang ketika terbukti lalu hakim) kasih sanksi perdata,” tutur Jimly.

Dalam perkara gugatan Prima, Jimly berpendapat hakim telah mengacaukannya dengan persoalan administrasi yang bukan kewenangan pengadilan perdata.

“Mestinya dia bilang ini bukan kewenangan saya, bukan malah dikabulkan,” kecam Jimly.

Menurut Jimly, hakim yang menangani gugatan perdata Prima tidak profesional dan tidak mengerti hukum pemilu, serta tidak mampu membedakan urusan privat (perdata) dengan urusan publik.

“Tidak pantas hakim tidak dapat membedakan hukum perdata dan hukum publik. MA dan KY harus bertindak,” tegas Jimly.

Pengadilan perdata harus membatasi diri dengan menangani masalah perdata saja.

 

Sanksi perdata hanya sampai pada ganti rugi. Persoalan terkait tahapan pemilu, tegas Jimly, adalah kewenangan konstitusional Komisi Pemilihan Umum (KPU).

 

“Kalau ada sengketa tentang proses (pemilu) maka yang berwenang adalah Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), bukan pengadilan perdata.

(Kelak), kalau ada sengketa tentang hasil pemilu maka yang berwenang adalah MK,” ulang Jimly soal ranah hukum pemilu.

 

Karena itu, Jimly menyarankan pengajuan banding dan bila perlu sampai kasasi untuk putusan perdata PN Jakarta Pusat atas gugatan Prima terkait verifikasi partai politik peserta Pemilu 2024 ini.

 

“Kita tunggu sampai inkracht. Hakim pengadilan negeri tidak berwenang memerintahkan penundaan pemilu,” tegas Jimly.

 

Dalam persoalan hukum, imbuh Jimly, pengadilan perdata wajib tunduk kepada UU Pemilu.(Sumber)