News  

Waspada! Bank-Bank Raksasa Terancam Kolaps, Ini Penyebabnya

Saham bank-bank di seluruh dunia rontok akibat berkembangnya kekhawatiran guncangan di sektor keuangan gara-gara masalah yang melilit salah satu bank di Amerika Serikat (AS).

Saham Silicon Valley Bank (SVB), pemberi pinjaman utama untuk perusahaan rintisan teknologi, anjlok pada Kamis (9/3/2023) setelah mengumumkan rencana untuk menopang kembali keuangannya.

Hal ini berdampak langsung terhadap industri perbankan di mana empat bank terbesar AS kehilangan lebih dari US$ 50 miliar nilai pasarnya.

Menyusul merosotnya saham SVB tersebut, saham bank di Asia dan Eropa turun tajam pada Jumat (10/3/2023). Di antaranya adalah bank-bank Inggris, seperti HSBC turun 4,8% dan Barclays turun 3,8%.

Adapun, saham SVB mengalami penurunan satu hari terbesar dalam catatan, yakni lebih dari 60% dan kehilangan nilai 20% lagi dalam perdagangan setelah jam kerja.

Penurunan itu terjadi sehari setelah bank mengumumkan penjualan saham senilai US$ 2,25 miliar untuk meningkatkan modalnya.

SVB meluncurkan penjualan saham setelah kehilangan sekitar US$ 1,8 miliar ketika melepas portofolio aset, terutama obligasi pemerintah AS.

Namun yang lebih memprihatinkan bagi pihak bank, beberapa perusahaan rintisan (startup) yang sudah menyetor uang disarankan untuk menarik dananya.

Hannah Chelkowski, pendiri Blank Ventures, sebuah modal ventura yang berinvestasi dalam teknologi keuangan, mengatakan kepada BBC bahwa situasinya “liar”. Dia menyarankan perusahaan dalam portofolionya untuk menarik dana.

“Sungguh gila bagaimana terurai begitu saja. Menariknya, ini adalah bank yang paling ramah terhadap startup dan sangat mendukung startup selama Covid. Sekarang modal ventura menyuruh perusahaan portofolio mereka untuk menarik dana mereka,” katanya.

“Ini brutal,” tegasnya.

Sebagai pemberi pinjaman penting untuk bisnis startup, SVB adalah mitra perbankan untuk hampir setengah dari perusahaan teknologi dan perawatan kesehatan yang didukung usaha AS yang terdaftar di pasar saham tahun lalu.

Di pasar yang lebih luas, ada kekhawatiran tentang nilai obligasi yang dimiliki bank karena kenaikan suku bunga membuat obligasi tersebut menjadi kurang berharga.

Baca: Duh, 14 Saham IPO 2023 Ini Boncos Parah, Ada yang Sudah ARB
Bank-bank sentral di seluruh dunia, termasuk Federal Reserve AS dan Bank of England, telah menaikkan suku bunga secara tajam karena mereka mencoba mengekang inflasi.

Bank cenderung memiliki portofolio obligasi yang besar dan sebagai akibatnya berada pada potensi kerugian yang signifikan. Turunnya nilai obligasi yang dipegang bank belum tentu menjadi masalah kecuali mereka terpaksa menjualnya.

Tapi, jika yang terjadi seperti dalam kasus Silicon Valley Bank, pemberi pinjaman harus menjual obligasi yang mereka pegang dengan kerugian dan hal itu bisa berdampak pada keuntungan mereka.

“Bank-bank adalah korban dari kenaikan suku bunga,” kata Ray Wang, pendiri dan kepala eksekutif konsultan Constellation Research yang berbasis di Silicon Valley kepada BBC.

“Tidak seorang pun di Silicon Valley Bank dan di banyak tempat berpikir bahwa kenaikan suku bunga ini akan berlangsung selama ini. Dan saya pikir itulah yang sebenarnya terjadi. Taruhan mereka salah,” tambahnya.

Russ Mould, direktur investasi di AJ Bell, mengatakan efek riak dari masalah di SVB menunjukkan peristiwa semacam ini “sering mengisyaratkan kerentanan dalam sistem yang lebih luas”.

“Banyak bank memiliki portofolio obligasi yang besar dan kenaikan suku bunga membuat ini kurang berharga. Situasi SVB adalah pengingat bahwa banyak institusi mengalami kerugian besar yang belum direalisasi pada kepemilikan [obligasi] pendapatan tetap mereka,” tuturnya.(Sumber)