Tekno  

Krisis Literasi: Saat Gen Z Lebih Pilih Teknologi Daripada Buku

Masalah krisis literasi kini kian menjamur di Indonesia. Bak sebuah fenomena yang terus menghantui pemerintah hingga tak ada habisnya. Meski sudah banyak peringatan akal hal ini, minat baca di kalangan masyarakat masih terbilang rendah.

Sejalan dengan hal itu Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim juga mengatakan jika selama 20 tahun terakhir Indonesia mengalami krisis literasi. Selain itu beliau juga mengatakan jika tingkat pendidikan di Pulau Jawa tidak jauh lebih unggul dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia. Bahkan, ia menegaskan bahwa tingkat literasi di Pulau Jawa sedang mengalami krisis.

“Kebanyakan orang percaya bahwa Pulau Jawa tidak memiliki masalah literasi. Itu sama sekali tidak benar, Pulau Jawa mengalami krisis literasi,” kata Nadiem pada pemutaran perdana Merdeka Belajar Episode 23 secara daring pada 27 Februari 2023.

Pernyataan ini tentu bukan hanya opini segelintir orang. Data dari survei PISA mengatakan angka literasi di Indonesia memang terbilang mengkhawatirkan. Dari 65 negara, mirisnya Indonesia berada di peringkat 64.

Tak hanya itu, dilansir dari data UNESCO faktanya tingkat minat baca orang Indonesia sangat memprihatinkan, yakni hanya 0,001 persen.

Hal ini mengindikasikan bahwa hanya satu dari setiap 1.000 orang Indonesia yang gemar membaca. Rendahnya tingkat literasi sepatutnya sudah menjadi alarm khusus bagi masyarakat khususnya pemerintah, karena hal ini setidaknya menunjukkan adanya kemunduran sumber daya manusia terutama di kalangan remaja.

Namun, mengapa hal ini bisa terjadi? Apakah sumber masalahnya ada di teknologi, instansi pendidikan, para tenaga pendidik ataukah sumber daya manusia yang memang sekarang mulai menurun?

Jika berkaca pada realita yang ada kita pasti mulai melihat perpustakaan yang kini sudah jarang dikunjungi oleh sebagian orang. Sekarang keramaian yang banyak dijumpai adalah di mal atau cafe dengan pengunjung yang selalu membawa smartphone di tangan mereka.

Hal ini juga menunjukkan fakta kedua bahwa sekitar 60 juta orang Indonesia memiliki perangkat elektronik dan membuat Indonesia menempati peringkat kelima dengan pengguna aktif smartphone di dunia.

Emarketer, sebuah lembaga riset pemasaran digital, memproyeksikan bahwa Indonesia akan memiliki lebih dari 100 juta pengguna ponsel pintar aktif pada tahun 2018. Indonesia akan segera melampaui Cina, India, dan Amerika Serikat sebagai negara dengan jumlah pengguna smartphone terbesar keempat di dunia.

Di era yang serba canggih ini mayoritas penduduk memang lebih mengandalkan teknologi untuk mencari sumber bacaan, referensi dan segala informasi terkini. Berbeda dengan zaman dulu di mana seseorang harus pergi ke perpustakaan hanya untuk mencari buku sebagai bahan bacaan atau sekadar untuk mendapatkan informasi yang diinginkan.

Memang tidak dimungkiri perbedaan dimensi waktu membuat budaya baru bertransformasi menjadi kebiasaan yang tertanam di keseharian.

Semakin majunya teknologi seharusnya menjadi awal perubahan juga bagi peradaban manusia. Namun, pada eksekusinya banyak yang menyalahgunakan teknologi yang seharusnya menjadi media untuk meningkatkan literasi dengan segala kemudahannya.

Sejatinya teknologi diciptakan untuk mempermudah pekerjaan manusia, karena dengan menggenggam smartphone saja kita bisa mendapat atau menyebarkan informasi.

Tuntutan untuk beradaptasi dengan kemajuan yang ada tentu menjadi sebuah keharusan demi mempertahankan posisi diri dalam persaingan global.

Tentu ada banyak fasilitas yang bisa dimanfaatkan seperti yang baru-baru saja booming beberapa waktu lalu, yakni AI atau (Artificial Intelligence).

AI kini menjadi salah satu website yang banyak digunakan oleh generasi muda untuk mendapat informasi, literatur, jawaban, atau mengerjakan tugas. Meski banyak pro dan kontra, tak sedikit juga para tenaga pendidik dan masyarakat awam yang merasa terbantu dengan teknologi ini.

Tantangan dalam menghadapi arus globalisasi memang seharusnya disikapi dengan bijak. Menolak dan menutup diri dari perkembangan zaman juga bukan hal yang seharusnya dilakukan.

Semua orang tentu berhak memilih apa saja yang sekiranya mempermudah hidup tak terkecuali di bidang pendidikan utamanya tentang literasi.

Seiring berkembangnya zaman, literasi yang ada pun mulai berkembang dan memiliki cakupan yang luas. Bahkan hanya dengan smartphone saja terdapat jutaan aplikasi dan bacaan yang bisa diunduh dan diakses untuk menambah literasi seseorang seperti Watpad, Google, blog pribadi, artikel, jurnal, bahkan e-book.

Jika ditelaah beberapa perkembangan teknologi yang berupa aplikasi maupun website ternyata memiliki banyak kelebihan di antaranya memungkinkan penggunanya untuk tidak hanya sekadar membaca tapi juga memberikan informasi lewat tulisannya.

Passive income yang mereka dapatkan juga tergolong menjanjikan, sehingga tak diragukan pekerjaan sebagai content writers kini banyak digandrungi para remaja sebagai side job.

Kelebihan lainnya adalah data yang ada dari literatur berbasis online juga bisa didapat dengan kurun waktu yang diinginkan mulai dari tahun terdahulu hingga tahun yang paling terbaru, atau dengan kata lain data yang ada terus di upgrade seiring berjalannya waktu.

Jadi tak ada alasan untuk tidak membaca, apapun bentuk literasinya tetaplah biasakan untuk membaca demi masa depan Indonesia yang lebih cerah.(Sumber)