News  

Ini 11 Alasan Kenapa RUU Kesehatan Omnibus Law Harus Ditolak

Akhir-akhir ini kita disibukkan dengan hiruk-pikuk mengenai RUU Kesehatan Omnibuslaw (RUU Kesehatan) dengan pelbagai narasi dan upaya-upaya pihak kemenkes yang terkesan tergesa-gesa dan menggunakan segala cara untuk segera meloloskannya.

Alasan dari urgensi yang sering dilontarkan terkait pembahasan RUU yang “mendadak” ini salah satunya adalah kurangnya jumlah dokter spesialis, sehingga banyak daerah yang belum terlayani.

Terkait dengan hal ini, kita bisa berdebat panjang lebar, dan ujung-ujungnya ternyata bukan saja soal jumlah yang kurang, melainkan lebih dominan pada persoalan distribusi dokter spesialis yang karut marut.

Yang saya tangkap, alih-alih mengakui hal ini sebagai sebuah kegagalan, kemenkes menjadikan organisasi profesi (OP) dokter dan profesi kesehatan lainnya seolah sebagai kambing hitam dari problematika Kesehatan nasional.

Fakta yang pertama, tidak pernah ada studi terkait kebutuhan tenaga dokter yang disusun atas landasan situasi negeri dengan ribuan pulau dengan profil demografi sampai sosiokultural hingga keragaman infrastruktur yang amat berbeda dari satu wilayah dengan lainnya.

Itu mengapa kita tidak bisa hanya pakai standar 1 dokter per 1000 atau 10.000 populasi sesuai dengan standar WHO. Saya coba ambil contoh kasus misalnya terkait dengan kegawatan pasca cedera otak akibat kecelakaan lalu lintas, pasien perdarahan otak harus ditolong dalam waktu 2-4 jam, artinya harus ada spesialis bedah saraf untuk setiap jarak transportasi 4 jam.

Contoh lain pada kegawatan saat persalinan/ibu melahirkan, harus ditolong dalam waktu kurang dari 1 jam dengan risiko ancaman kematian bagi salah satu dari ibu, bayi atau keduanya akan meninggal. Artinya diperlukan seorang spesialis kandungan untuk setiap jarak transportasi satu jam.

Jadi kebutuhannya akan berbeda untuk setiap jenis spesialisasi. Sepemahaman saya, Kemenkes tidak punya kapasitas dan kemampuan untuk membuat pemetaan seperti ini kecuali dengan melibatkan OP spesialis terkait.

Kedua, bisa jadi dokter di Indonesia adalah orang-orang yang paling sibuk, karena pekerjaan dokter memberikan jasa kepada pasien tidak dibatasi oleh jam kerja, apalagi bila berhadapan dengan kasus gawat darurat yang mengancam jiwa.

Bahkan di rumah sakit (RS) pendidikan, para dokter ini punya tugas tambahan untuk mendidik dan melakukan transfer pengetahuan, keterampilan, dan etika serta disiplin profesi kepada generasi berikutnya, baik calon dokter umum maupun calon dokter spesialis.

Kalau para dokter dan profesi kesehatan lain yang umumnya hampir tidak punya waktu luang ini sampai beramai-ramai turun ke jalan untuk berdemo di bawah terik matahari, pastilah ada sesuatu yang lebih penting dari sekadar urusan pribadi atau bahkan profesi, dan benar-benar memaksa/gawat terkait pembahasan RUU Kesehatan ini.

Ketiga, naskah akademik dan draft RUU yang “tidak jelas” siapa yang Menyusun dan entah dari kapan. Lazimnya, semua naskah akademik dan draf RUU apa pun wajib membuka akses secara bebas bagi siapa pun untuk bisa dibaca dan dianalisis secara independen.

Tudingan bahwa Menkes main belakang terkait draf resmi RUU Kesehatan, ini disampaikan oleh anggota Komisi IX DPR, Yahya Zaini, saat Raker di Gedung DPR, hari Selasa 24/1/2023 (Sumber).