Direktur Studi China Indonesia Center of Economic and Law Studies (Celios), M Zulfikar Rakhmat menilai, Indonesia tekor Rp32 triliun dari investasi smelter nikel asal China. Itu belum termasuk kerugian atas rusaknya alam dan lingkungan di sekitar smelter nikel.
Angka itu, kata Zulfikar, masih kecil. Karena dihitung hanya berdasarkan pemberian tax holiday kepada smelter nikel China selama 30 tahun. “30 tahun mereka nggak harus bayar pajak. Jadi kita sudah rugi lingkungan, rugi ekonomi. Kalau menurut perhitungan saya juga, perhitungan kami, itu sekitar Rp32 triliun, kerugiannya,” kata Zulfikar kepada Inilah.com, Jakarta, dikutip Selasa (20/6/2023).
Kondisi ini, kata dia, tidak akan terjadi jika pemerintah Indonesia bisa bersikap tegas terhadap ienvestasi asing yang ingin membangun bisnis atau usaha di Indonesia. Sebut saja, Arab Saudi yang berhasil membawa keuntungan bagi negerinya dengan masuknya perusahaan tambang asal China.
“Jadi China mau inves di Arab Saudi, mereka bilang mau bawa pekerjanya. Sebanyak 80 persen pekerja China dan 20 persen pekerja Arab Saudi. Namun, Arab Saudi menolak. Mereka mensyaratkan, pekerja lokal lebih banyak ketimbang asing (China). Pada akhirnya, China manut juga tuh. Mungkin karena China merasa butuh ya,” jelas Zulfikar.
Ia menyayangkan ketidaktegasan pemerintah Indonesia ketika berhadapan dengan investor China. Padahal, investasi China banyak titik lemahnya. Semisal, tidak memiliki izin perusahaan yang disebut dengan Environment, Social, Governance (ESG). “Perizinannya enggak ada yang ESG seperti yang di Morowali,” papar Zulfikar.
Akibatnya, kata Zulfikar, investasi smelter China di Indonesia, cenderung merusak lingkungan. Limbah smelter bikel dibuang serampangan ke sungai membuat air menjadi merah, serta mematikan banyak ikan. Belum lagi perbedaan perlakuan atau diskriminasi antara pekerja China dengan lokal.
“Pekerjanya kecelakaan, ketika tim kami ada di sana ngobrol mengenai apa masalahnya. Ternyata, tiap minggu pasti ada kecelakaan. Karena, perusahaan tidak memberi pekerja lokal alat pelindung diri atau APD. Harus beli sendiri. Sementara kalau pekerja asing diberi. Belum lagi dari sisi pendapatan, pekerja lokal jauh di bawah,” imbuhnya.
Bagaimana pengusaha smelter nikel asal China tidak untung besar, menurut Zulfikar, mereka membeli bahan baku (bijih nikel) dengan harga diskon hingga 50 persen dari harga dunia. Misalnya, ketika harga bijih nikel dunia menyentuh US$80 per ton, maka pengusaha smelter China bisa membelinya US$40 per ton.
“Harapannya, insentif harga ini bisa membuat investor ramai-ramai ke Indonesia. Ternyata malah menimbulkan ekspor-ekspor ilegal. Karena adanya disparitas harga tadi,” ungkapnya.(Sumber)