Tekno  

Project S TikTok Ancam UMKM, Pemerintah Harus Ngebut Bikin Regulasi

Project S yang direncanakan TikTok disebut akan mengancam ekosistem UMKM di Indonesia. Pasalnya, TikTok berencana untuk memproduksi sendiri produk-produk laris manis di platformnya.

Rencana ini dikhawatirkan akan menggeser peran UMKM lokal karena harga-harga produk milik TikTok akan lebih murah sehingga pengguna lain lebih memilih berbelanja ke pihak platform.

Tren Social Commerce yang dipopulerkan TikTok juga turut menjadi perhatian, dimana saat ini TikTok Shop berada di ruang kosong regulasi pemerintah.

“Jadi Tiktok Shop ini jadi Social Commerce yang liar karena berada di ruang kosong regulasi. Mau diatur sebagai e-commerce dianggapnya media sosial, mau diatur sebagai media sosial, tapi dia punya e-commerce,” kata Bhima Yudhistira, Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) saat dihubungi Uzone.id, Senin, (10/07).

Pemerintah pun harus segera mengambil tindakan secara tegas dan mengatur bahwa Social Commerce harus tetap didefinisikan sebagai PMSE (Perdagangan Melalui Sistem Elektronik) yang telah diatur oleh Permendagri.

“Langsung saja diatur dalam Permendag dan juga PMK (Peraturan Menteri Keuangan) bahwa Social Commerce entah peraturan terpisah atau sendiri, intinya jangan sampai dianak emaskan di tengah kekosongan regulasi,” ujar Bhima.

Pengamat ekonomi dari INDEF (Institute For Development of Economics and Finance) Nailul Huda juga menyampaikan hal serupa, dimana harus ada regulasi dan aturan soal Social Commerce ini.

“Saya pribadi melihat harus ada aturan mengenai social commerce ini agar tidak ada program-program dari social commerce yang merugikan. Regulasi pemerintah harus mengatur mengenai perilaku dari semua pemain perdagangan daring, baik itu e-commerce ataupun social commerce,” ujarnya kepada Uzone.id, Senin, (10/07).

Ada berbagai alasan kenapa pemerintah harus ‘ngebut’ untuk membuat regulasi tersebut.

Pertama, untuk memberikan perlindungan kepada konsumen terkait keamanan transaksi dan data.

Perlindungan dan pengawasan pada konsumen ini salah satunya untuk mengendalikan barang-barang yang dijual, yang mana bisa jadi barang tersebut tidak asli dan akan meresahkan masyarakat.

“Kalau dibiarkan khawatir model seperti tiktok shop ini dikhawatirkan jadi tempat transaksi barang-barang yang ilegal. Barang yang bermasalah, karena tidak diregulasi secara ketat layaknya e-commerce,” tambah Bhima.

Lewat aturan ini, Social Commerce juga didorong untuk mematuhi regulasi HET (Harga Eceran Tertinggi) di beberapa produk, apalagi kebutuhan pokok agar tidak merusak harga pasar.

Kedua, memberikan perlindungan bagi pelaku usaha lokal dan produsen lokal sehingga Social Commerce tidak mengesampingkan usaha di dalam negeri.

Ketiga, memberikan persaingan usaha yang sehat antar pemain perdagangan online agar level playing field-nya sama, yaitu dengan mematuhi pajak sebagaimana platform e-commerce lainnya.

“TikTok Shop ini harus patuh pada pajak, sehingga dari segi perpajakan ada level playing field yang sama dengan platform e commerce. Ini yang membuat persaingan menjadi lebih sehat,” kata Bhima.

Kehadiran TikTok Shop ini dinilai menggerus platform e-commerce yang telah bayar pajak, sementara hingga saat ini model Sosial Commerce tidak membayar pajak. Sehingga, penting bagi Kementerian Perdagangan untuk segera mengendalikan tren Social Commerce yang saat ini diminati masyarakat.(Sumber)