Legenda bulu tangkis Indonesia, Christian Hadinata menyoroti pentingnya faktor mental akibat situasi sistem poin bulu tangkis di era sekarang.
Faktor mental sering menjadi masalah pebulu tangkis Tanah Air. Ganda putra nomor satu dunia, Fajar Alfian/Muhammad Rian Ardianto, termasuk di antaranya.
Hal inilah yang coba dibenahi Christian Hadinata sejak terlihat menyambangi pelatnas PBSI di Cipayung, Jakarta Timur sejak bulan Agustus lalu.
Kehadiran peraih lima medali emas Asian Games bukan hanya sekadar mampir karena dia telah menjadi bagian dari tim ahli yang akan memantau pelatih dan pemain pelatnas Cipayung.
Posisi itu dipercayakan kepada Hadinata untuk memantau semua sektor.
Tetapi saat ini, mantan pemain yang akrab disapa koh Chris itu lebih banyak memonitor sektor ganda, sebagaimana spesialisasinya.
Setelah menjalankan perannya di pelatnas, salah satu sorotan tajam Hadinata dari evaluasi yang ia lakukan adalah soal mental.
Aspek psikologis semacam ini, menurut dua kali Juara Dunia itu, masih menjadi hal yang sering menjegal para pebulu tangkis top meskipun punya keunggulan secara teknis.
Semua itu tidak lepas dari perubahan sistem poin menjadi reli yang menuntut konsentrasi tinggi.
Pemain kini menjadi tidak boleh lengah sedikit pun, karena poin bisa didapat tanpa harus dengan melakukan servis.
Ini berbeda dengan kompetisi bulu tangkis di era awal 2000-an ke belakang, di mana poin masih menggunakan sistem pindah bola.
“Menurut saya, pressure (tekanan) sekarang jauh lebih berat dibanding zaman saya. Utamanya, setelah diberlakukan reli poin.” kata Hadinata, dikutip BolaSport.com dari Antara.
“Dari sisi mental dan nonteknis, apalagi poin-poin kritis 15 ke atas itu sangat menentukan,” tandasnya, mencoba memahami kesulitan atlet-atlet masa kini.
Sistem reli poin saat ini menuntut konsentrasi tinggi dan minim eror. Tak boleh ada kesalahan fatal apalagi di poin krusial.
“Apalagi main double (ganda), ya empat kali pindah bolanya,” kata sosok yang telah masuk jajaran BWF Hall of Fame sejak 2001 itu mengenang.
“Saya servis, ganti partner saya. Kalau mati (tidak dapat poin) masih bisa pindah bola, servis kedua, pindah bola lagi. Jadi tekanannya memang beda.”
“(Kalau sekarang) bayangkan saja skor 20-19, servis salah (eror) ya sudah gim poin.”
“Kalau dulu tidak terlalu berat buat kami. Sekarang bola tersangkut atau mati ya (perhitungan) poinnya berjalan terus,” imbuhnya.
Masalah mental sudah sering menjadi penjegal sejumlah pemain Indonesia.
Salah satu yang saat ini disorot adalah menurunnya prestasi ganda putra nomor satu Tanah Air, Fajar Alfian/Muhammad Rian Ardianto.
Sejak menjadi Juara All England Open 2023, duo FajRi belum kembali tampil menggigit dan justru sering terjegal di babak-babak awal dalam sejumlah turnamen yang mereka ikuti.
Imbasnya, Fajar/Rian mengalami krisis kepercayaan diri seperti yang telah diakui juga oleh Aryono Miranat selaku Kepala Pelatih Ganda Putra PBSI.
Soal keterpurukan Fajar/Rian ini, Hadinata pun sudah pernah berbincang dengan mereka.
Christian Hadinata yang juga sering menjadi tim pencari bakat PB Djarum menasehati Fajar/Rian agar kembali mengenang momen mereka saat sempat terpuruk lalu berhasil bangkit.
Peningkatan Fajar/Rian hingga mengambil alih peringkat pertama dunia memang diawali dari masa-masa suram ketika mereka mulai tersaingi junior sendiri.
Saat itu, Fajar/Rian juga sempat disentil Herry Iman Pierngadi yang masih berstatus kepala pelatih ganda putra.
Herry IP menyinggung bahwa jika tidak segera melakukan perbaikan, mereka akan segera disalip oleh para juniornya.
“Mereka bisa naik ke ranking teratas dunia lalu menjuarai All England tahun ini. Artinya, Fajar/Rian memiliki kemampuan untuk berada di atas,” kata Hadinata.
“Perjalanan saat berjuang untuk naik bisa diingat kembali dan menjadi motivasi untuk melakukan hal yang sama,” tambahnya.(Sumber)