Denny Indrayana Sebut Putusan MK Mirip Drama Korea, ‘Seolah Menolak Ujungnya Dikabulkan’

Putusan Mahkamah Konstitusi atau MK menyisakan celah bagi Gibran Rakabuming Raka untuk menjadi cawapres.

Putusan MK tersebut sudah diprediksi sebelumnya oleh mantan Wamenkumham Denny Indrayana.

Denny menyebut putusan MK yang menyatakan syarat capres cawapres berusia minimal 40 tahun atau pernah menjadi kepala daerah memuluskan peluang Gibran menjadi cawapres.

“Sayangnya, kali ini prediksi saya benar. Putusan MK mengabulkan Gibran Jokowi berpeluang jadi paslon dalam Pilpres 2024,” tulisnya di akun media sosial X, dikutip Senin, 16 Oktober 2023.

Diketahui Gibran digadang-gadang menjadi kandidat cawapres untuk Prabowo Subianto.

Jika Gibran menjadi pendamping Prabowo, maka Presiden Jokowi atau Joko Widodo berhadapan dengan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri.

Sebab PDI Perjuangan mengusung Ganjar Pranowo sebagai capres.

“Akankah Presiden Jokowi berhadapan dengan Megawati dan PDI Perjuangan?” imbuh Denny.

Pria yang saat inj berprofesi sebagai advokat ini pun menyamakan putusan Mahkamah Konstitusi yang dibacakan hari ini dengan drama Korea.

Setelah sebelumnya menolak tiga permohonan atau gugatan, namun pada akhirnya MK mengabulkan permohonan yang dinilai menghidupkan peluang Gibran dalam kontestasi Pilpres 2024.

Denny pun memplesetkan MK dengan kepanjangan kata ‘Mahkamah Keluarga’

“Putusan MK = Drama Korea, seolah menolak ujungnya mengabulkan. Bukan hanya MK menjadi Mahkamah Keluarga, NKRI berubah menjadi Negara Keluarga Republik Indonesia,” pungkas Denny.

Sebelumnya MK mengabulkan gugatan atau permohonan syarat capres cawapres berusia minimal 40 tahun atau berpengalaman menjadi kepala daerah.

MK menggelar sidang pleno pembacaan putusan uji materiil pasal 169 huruf q Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
MK menyidangkan permohonan 90/PUU-XXI/2023 yang diajukan seorang mahasiswa bernama Almas Tsaqibbirru Re A.

Almas memohon kepada Mahkamah agar menyatakan pada Pasal 169 huruf (q) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, sepanjang “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai dengan atau berpengalaman sebagai Kepala Daerah baik di Tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota”.

Dalam konklusi MK menyatakan Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo. Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan pemohonan a quo dan permohonan pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.

Mahkamah Konstitusi dalam amar putusan mengabulkan sebagian permohonan pemohon.

“Mengadili, mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian,” ujar Ketua MK Anwar Usman saat membacakan amar putusan.

Kedua MK juga menyatakan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang menyatakan: ‘berusia paling rendah 40 tahun’ bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai ‘berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pemah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.

“Sehingga Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum selengkapnya berbunyi: berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah,” jelas Anwar

“Ketiga nemerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia

sebagaimana mestinya,” sambung Anwar.
Dalam putusan tersebut terdapat dissenting opinion atau perbedaan pendapat dan perbedaan alasan atau cocurring opinion di antara hakim konstitusi.

“Terhadap putusan Mahkamah a quo, terdapat alasan berbeda (cocurring opinion) dari 2 (dua) orang Hakim Konstitusi, yaitu Hakim Konstitusi Enny Nubaningsih dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh, serta terdapat pula pendapat berbeda (dissenting opinion) dari 4 (empat) orang Hakim Konstitusiyat Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams, Hakim Konstitusi Saldi Isra, Hakim Konstitusi Arief Hidayat, dan Hakim Konstitusi Suhartoyo,” tutup Anwar.

Sebelumnya MK telah menolak permohonan uji materiil pasal 169 huruf q Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dari tiga pemohon yakni PSI Partai Garuda dan sejumlah kepala daerah.*(Sumber)