Bos PSIS Semarang Yoyok Sukawi Ungkap 3 Faktor Penyebab Timnas Indonesia Sulit Berprestasi

CEO PSIS Semarang, A.S Sukawijaya atau Yoyok Sukawi menyebut tiga faktor yang menyebabkan Timnas Indonesia susah berprestasi.

Pernyataan tersebut disampaikan saat menghadiri jumpa pers yang diselenggarakan oleh Media Center Piala Dunia U-17 2023 di Hotel Solia Zigna, Solo, Jumat (17/11/2023) siang WIB.

Timnas Indonesia masih kesulitan untuk berbicara banyak di turnamen internasional.

Trofi terakhir yang sukses didapatkan Skuad Garuda pada ajang resmi adalah medali emas SEA Games 1991 di Filipina.

CEO PSIS Semarang tersebut menyebut bahwa Indonesia tidak memiliki banyak stok talenta yang terlibat dalam sepak bola.

Untuk negara berpenduduk 270 juta, pelaku sepak bola Indonesia sendiri kurang dari 100.000 orang.

“Ini Indonesia penduduknya 270 juta, 11 orang aja nggak bisa dapat yang bagus kalau dibanding Jepang yang penduduknya nggak sampai 50 juta tapi dia pemainnya bagus-bagus,” ujar Yoyok Sukawi.

“Tapi nampaknya setelah data itu kita buka, kita inventaris dan ini mulai dilakukan di masa kepemimpinan Iwan Bule.”

“Di Indonesia itu memang penduduknya 270 juta, tapi pelaku sepak bola, nggak sampai 100.000, dalam arti anak usia dini usia kecil, 8, 10, 12, sampai senior sampai pemain timnas, pemain profesional, tidak sampai 100 ribu.”

“Mari kita balik dengan kalau kita ambil Belanda. Belanda itu penduduknya enggak sampai 30 juta, tapi pelaku sepak bolanya lebih dari 2 juta, kita sepersepuluhnya saja tidak ada.”

“Berarti inilah Kenapa kok kita itu sulit mencari pemain bertalenta, tidak dengan yang ada di sana.”

“Indonesia itu sebenarnya masih terlalu sedikit orang yang bermain bola makanya kita nggak bisa bersaing dengan di level ASEAN saja kesulitan karena rasionya terlalu kecil,” lanjutnya.

Faktor kedua adalah sedikitnya pemain Indonesia yang berkarier di luar negeri.

Berdasarkan data saat ini saja, ada delapan pemain dari skuad Timnas Indonesia yang memutuskan untuk abroad.

Sementara menurut Yoyok Sukawi, Thailand dan Malaysia sendiri banyak pemainnya yang pernah menimba ilmu di luar negeri.

“Pemain Indonesia yang menimba ilmu di luar negeri atau abroad masih terlalu sedikit,” ujar Yoyok Sukawi.

“Thailand itu hampir pemain timnasnya semua tingkatan, 90% sudah aboard di Eropa, Jepang, dan Korea.”

“Kalau kita yang abroad bisa dihitung. Di level U-23 ada Asnawi, Witan, Witan saja tidak betah dan pulang. Terus akhirnya kita naturalisasi.”

“Mereka (Thailand)? Tidak, mereka banyak sekali pemain abroad. Bahkan saat PSIS memanggil klub Malaysia, Selangor dan main lawan mereka, ternyata kualitasnya diatas kita.”

“Kok anak kecil mainnya bagus banget, ternyata pernah di Jepang pak Liga 2, ini Korea, ini Eropa pak,” lanjutnya.

Faktor terakhir yang membuat Timnas Indonesia gagal berbicara banyak di turnamen internasional adalah penyakit star syndrome.

Menurutnya, para pemain Indonesia mulai berusia 23-25 tahun mulai fokus untuk membangun keluarga, sehingga tidak berfokus ke sepak bola sepenuhnya.

“Kalau anak-anak usia 23 25 di Indonesia itu, begitu pemain itu sukses, sudah dikontrak cukup besar sama klub. biasanya kalau di Indonesia itu anak-anak ini berubah bertransformasi menjadi pemimpin keluarga,” ujar Yoyok Sukawi.

“Itu kalau saya sebut star syndrome. Jadi, begitu dia top ketika dikontrak PSIS, dengan yang tadinya gajinya 5 juta begitu masuk Timnas besok gajinya jadi 150 juta.”

“Ini anak ini jadi kepala keluarga, bahkan di desanya bisa seperti kepala desa, dia itu diagung-agungkan sebagai pejuang, ini yang membuat konsentrasi pemain jadi terpecah.”

“Kalau di luar negeri yang berhasil-berhasil itu anak-anak usia 23 25 itu rata-rata begitu suruh konsentrasi main bola. Nggak boleh ya berpikir lain, apalagi nikah.”

“Ada yang sesudah nikah performanya turun. Habis latihan tidur, habis itu nemenin istrinya jalan-jalan. Malamnya, Istrinya minta ditemenin lagi sampai subuh. Habis itu nanti latihan lagi, lelaki mana ya enggak lelah kalau begitu. Itu fakta,” tutupnya.(Sumber)