News  

Keunikan Soto Kadipiro Yogyakarta: Serba Manual, Tanpa Kalkulator, Tak Bisa QRIS

Saat hampir setiap restoran dan warung makan menyediakan fasilitas pembayaran non tunai, baik lewat QRIS, debit, kredit, atau transfer untuk memudahkan transaksi, warung Soto Kadipiro I yang merupakan salah satu tempat makan legendaris di Yogya sampai saat ini hanya melayani satu metode pembayaran yakni pembayaran dengan uang kartal atau uang tunai.

Di warung soto yang berada di Jalan Wates No. 33, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul itu, tak ada barcode yang bisa di-scan untuk melakukan melakukan pembayaran. Tidak ada juga mesin EDC untuk melakukan pembayaran lewat kartu kredit atau ATM seperti yang banyak terdapat pada restoran-restoran pada umumnya.

“Kita di sini mengkhususkan harus bayar pakai uang kartal, enggak boleh pakai transfer-transferan. QRIS juga enggak bisa,” kata penerus warung Soto Kadipiro I, Hendy Suharli, saat ditemui Pandangan Jogja pada Rabu (27/12) siang.

Terlihat setiap ada konsumen yang membayar, Hendy hanya mencoret-coret di atas kertas dan menghitung tagihan pun tanpa menggunakan kalkulator.

Padahal, hampir semua warung Soto Kadipiro di cabang-cabang lain sudah menyediakan layanan pembayaran digital seperti QRIS dan sebagainya. Tapi hal ini dilakukan oleh Hendy bukan karena ia menolak kemajuan teknologi dan tak mau berinovasi.

“Nanti bikin gemuk bank, biaya administrasi berapa?” kata dia.

Hal ini justru ia jadikan sebagai ciri khas untuk membedakan warung Soto Kadipiro miliknya dengan warung-warung Soto Kadipiro lainnya.

“Biar kalau orang tanya, makan di Soto Kadipiro yang mana? Yang enggak pakai QRIS. Kris-nya cuma satu, Kristus,” kata Hendy.

Metode pembayaran digital atau non tunai menurutnya juga membuatnya sulit jika ada orang yang datang untuk minta sedekah.

“Kalau ada fakir miskin minta uang, masa mau kita transfer?” ujarnya.

Tak hanya menolak pakai sistem pembayaran non tunai, Hendy yang menangani sendiri bagian kasir juga menolak menggunakan kalkulator. Di meja kerjanya, ia hanya menyediakan selembar kertas dan ballpoint. Setiap hari, selembar kertas itu selalu penuh dengan coret-coretannya untuk menghitung jumlah uang yang mesti dibayar pelanggan.

Hal itu ia lakukan supaya otaknya selalu diasah dan tidak jadi tumpul karena dimanjakan oleh teknologi.
“Enggak pakai kalkulator karena bikin bodoh, biar encer otaknya dipakai terus,” kata Hendy Suharli.(Sumber)