News  

Pemerintah Otoriter Doyan Rancang Kerusuhan?

Kepolisian RI telah mengumumkan hasil investigasi kerusuhan yang terjadi pada tanggal 21 dan 22 Mei lalu.

Sejauh ini polisi belum bisa menemukan master mind atau pelaku utama kerusuhan. Namun menurut Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Dedi Prasetyo, yang menjelaskan hasil investigasi dalam jumpa pers kemarin (Jumat, 5/7), sepuluh anggota Polri yang melakukan pengeroyokan terhadap salah seorang pelaku kerusuhan telah dijatuhi sanksi administrasi.

Mengomentari penjelasan pihak Polri itu, ekonom senior DR. Rizal Ramli mengatakan, pemerintahan otoriter biasa dan doyan merancang “kekerasan” untuk menghancurkan legitimasi gerakan damai non-violence.

Dengan demikian kekuatan oposisi bisa ditangkap sementara rakyat bisa ditakut-takuti agar tidak ikut gerakan damai.

Mantan Menko Perekonomian itu mencontohkan kasus kerusuhan 15 Januari 1974 yang akrab disebut Malari.

Kelompok mahasiswa yang dipimpin Hariman Siregar dkk menggelar aksi damai. Namun pimpinan militer mengerahkan kelompok berambut cepak untuk membakar pasar Senen. Lalu Hariman Siregar, Buyung Nasution dan beberapa lainnya ditangkap.

Bagaimana dengan peran media?

Menurut Rizal Ramli, ketika itu media hanya memberitakan informasi versi penguasa.

Dia juga mencontohkan kejadian sejenis di pertengahan tahun 2008. Ketika itu Rizal Ramli memimpin demonstrasi menolak kenaikan harga BBM yang diikuti sekitar 40.000 orang.

“Demo berjalan damai,” kata Rizal Ramli dalam perbincangan dengan redaksi.

Sekitar seminggu kemudian, lima mobil pemerintah dibakar di depan Universitas Atmajaya di Jalan Sudirman, Jakarta. Lalu entah bagaimana ceritanya, Rizal Ramli dituduh menjadi otak di belakang pembakaran itu.

“Tuduhan itu betul-betul dang ngawur. Hanya cari-cari alasan untuk menangkap saya,” sambungnya.

Dia mengatakan, belakangan diketahui bahwa yang memerintahkan pembakaran di depan Universitas Atmajaya adalah ketua lembaga counter-intelligence.

“Media-media memberitakan kasus itu hanya sesuai versi lembaga counter-intelligence. Tidak ada cross-checking kepada saya. Media mainstream jadi sekadar megaphone pihak yang berkuasa,” urai Rizal Ramli lagi.

Dia percaya, bila kerusuhan yang terjadi pada tanggal 21 dan 22 Mei 2019 diselidiki secara objektif, besar kemungkinan akan diperoleh kesimpulan bahwa kerusuhan dipicu oleh preman-preman bertato yang merupakan bagian dari operasi otoriter.

“Seperti yang sebelum-sebelumnya, ini untuk merusak image gerakan damai sehingga dicap sebagai perusuh,” demikian Rizal Ramli. [rmol]