Latumahina: Pimpinan DPP Golkar Cenderung Otoriter dan Anti Kritik

Senior Partai Golkar, Freddy Latumahina, berbicara soal gap atau ruang kosong antara kader dan elite partai. Menurutnya, ini karena keengganan pimpinan partai berlambang beringin itu bertemu kader sendiri sehingga menimbulkan keluh kesah di tubuh pengurus daerah.

“Banyak kader Golkar di daerah merasakan dan mengeluh karena pimpinan Golkar tidak komunikatif, bahkan tidak menyediakan ruang dan waktu untuk dialog dengan para kader di sela-sela kunjungan pimpinan Golkar ke daerah sekali pun,” kata Freddy kepada wartawan, Jumat (26/7/2019).

Freddy mengklaim para ketua DPD Golkar mengaku malu dan kecewa karena gagal mempertemukan anggota partai di daerahnya dengan elite DPP Golkar yang sedang berkunjung. Dia melanjutkan puluhan anggota sudah berkumpul di sebuah ruang menunggu sapaan dan arahan dari pimpinan Golkar.

“Namun pimpinan Partai Golkar hanya melintas tanpa sedikit pun menunjukkan kepedulian kepada para kader yang sudah menunggu. Tak ada sapaan, apalagi sekadar jabat tangan,” ucap Freddy.

Freddy mengatakan kekosongan komunikasi antara DPP dan pengurus DPD bahkan pernah berakibat fatal. DPP Golkar nyaris tak pernah tahu masalah yang dihadapi DPD.

“Dan sebaliknya, hampir semua DPD tak tahu kebijakan dan strategi partai menghadapi pemilu,” katanya.

Baca juga: Bamsoet Ingin Kembalikan Roh Golkar ke Partai Keluarga Tentara

Pada Pileg 2019, Freddy mengklaim alat peraga kampanye yang dikirimkan oleh DPP Golkar ke daerah tidak sesuai dengan kebutuhan. Sebagian besar alat peraga bahkan tidak bisa digunakan saat kampanye.

Ini, menurutnya, memunculkan kesan di benak banyak kader bahwa pucuk pimpinan Golkar seperti hidup di rumah kaca. Bagi dia, pengurus DPP Golkar ingin mengelola partai politik tapi tak mau atau alergi menginjak tanah.

“Mengelola partai bukan dengan kerja-kerja politik, tetapi sekadar menuntut ketaatan mutlak dari semua kader,” ucap Freddy.

Freddy juga menyebut pengurus Golkar saat ini tak mau dikritik. Menurutnya, elite-elite Golkar di Jakarta awam dalam berorganisasi.

“Karena awam berorganisasi, apalagi untuk organisasi sebesar Partai Golkar, pimpinan DPP Golkar tak mau dikritik, bahkan menolak perbedaan pendapat. Maka, ketika menghadapi beda pendapat dengan kader, instrumen kewenangan yang digunakan untuk menyelesaikan perbedaan itu adalah pecat sana-pecat sini,” sebutnya.

“Alih-alih memberi contoh tentang perilaku demokratis, pimpinan Golkar malah menunjukkan kecenderungan otoriter dalam mengelola partai. Akibatnya, soliditas kader partai tidak maksimal ketika menghadapi agenda pileg baru-baru ini,” imbuh dia. [detik]