Kedua, seperti yang disampaikan Jane Jacobs, kehidupan sosial dan interaksi di tingkat jalanan adalah inti dari keberhasilan kota. Pemerintah perlu memastikan bahwa Nusantara tidak hanya menjadi kota administratif yang kaku, tetapi juga menjadi tempat di mana penduduk dapat hidup dan berinteraksi secara dinamis. Jika elemen sosial ini diabaikan, Nusantara berisiko menjadi kota yang megah tetapi sepi.
Mantan Kepala Otorita Ibu Kota Negara (OIKN), Bambang Susantono, menyuarakan kekhawatiran mendalam tentang masa depan IKN Nusantara. Dalam pernyataannya awal September 2024, Bambang mengungkapkan firasat tak enak terkait megaproyek senilai Rp466 triliun tersebut.
Kekhawatiran Bambang berakar pada potensi kegagalan IKN menjadi ibu kota negara yang sesungguhnya—bukan hanya karena masalah fisik, tetapi juga karena risiko kegagalan dalam membangun kehidupan sosial. Sebagai orang yang pernah memimpin proyek tersebut, Bambang mengingatkan bahwa pembangunan infrastruktur IKN yang megah tidak akan berarti jika tidak disertai dengan pengembangan komunitas yang hidup. “Kita ini membangun kota, bukan membangun seperti developer. Jadi, bukan membangun properti saja, yang kita bangun kota,” kata Bambang.
Pernyataan Bambang mencerminkan kekhawatiran yang lebih luas terkait nasib proyek-proyek kota baru di dunia, termasuk contoh nyata dari China. Kota-kota baru seperti Kangbashi, Tianducheng, dan Xiongan, adalah contoh pahit dari pembangunan megah yang gagal menarik cukup banyak penduduk. Pertanyaannya sekarang: apakah IKN Nusantara berisiko mengikuti jejak kota-kota gagal itu?
Teori Pengembangan Kota: Kota Sukses, Kota Gagal
Dalam teori perencanaan kota, banyak ahli tata kota dan perencana menyampaikan bahwa pembangunan kota bukan hanya soal infrastruktur fisik, tetapi juga mencakup elemen sosiokultural dan ekonomi yang memungkinkan kota berkembang. Jane Jacobs, salah satu pemikir terkenal di bidang tata kota, dalam bukunya The Death and Life of Great American Cities (1961), menekankan pentingnya “kehidupan jalanan” dan interaksi sosial sebagai inti dari keberhasilan kota.
Menurut Jacobs, kota yang berkembang adalah kota yang dinamis, dengan keanekaragaman fungsi—mulai dari perumahan, komersial, hingga ruang publik—yang mendorong interaksi sosial di tingkat jalanan. Tanpa elemen ini, kota-kota hanya akan menjadi tumpukan bangunan tanpa jiwa.
Pendapat Jacobs bisa dihubungkan dengan apa yang terjadi di kota-kota hantu seperti Kangbashi dan Tianducheng di China. Kota-kota itu tentu saja memiliki infrastruktur fisik yang baik, namun gagal membangun komunitas sosial yang kuat.
Hal itulah yang menjadi kekhawatiran utama Bambang Susantono terkait IKN Nusantara. Ia memperingatkan bahwa membangun kota harus diikuti dengan upaya membentuk masyarakat yang terhubung, yang tidak bisa dicapai hanya dengan infrastruktur fisik.
Edward Glaeser, seorang ekonom perkotaan terkemuka, dalam bukunya *Triumph of the City* (2011), juga menekankan bahwa kota-kota besar berkembang karena mereka menjadi pusat inovasi dan ekonomi. Menurut Glaeser, kota yang berhasil adalah kota yang mampu menarik penduduk melalui daya tarik ekonomi, inovasi, dan peluang kerja. Kota seperti New York atau London berkembang bukan hanya karena infrastruktur, tetapi karena kota-kota tersebut menjadi pusat kegiatan ekonomi yang menarik banyak orang untuk menetap. Dengan kata lain, infrastruktur saja tidak cukup; kota harus menciptakan daya tarik ekonomi yang nyata.
Salah satu elemen kunci dalam keberhasilan sebuah kota, menurut banyak ahli perencana kota, adalah konektivitas. Peter Hall, seorang planolog terkemuka, menekankan pentingnya transportasi dan aksesibilitas dalam mendukung pertumbuhan kota. Dalam *Cities in Civilization* (1998), bukunya yang laris, ia menguraikan bagaimana kota-kota besar di dunia selalu berkembang di sekitar pusat transportasi yang baik, yang menghubungkan mereka dengan pusat-pusat ekonomi lainnya. Tanpa konektivitas yang baik, kota berisiko menjadi terisolasi, sebagaimana terjadi pada Kangbashi dan Tianducheng, yang gagal menarik penduduk karena lokasinya yang terpencil.
Kota-kota Hantu di China: Kisah Kegagalan
China telah mengalami beberapa kegagalan besar dalam pembangunan kota-kota baru yang direncanakan dengan ambisi besar, tetapi berakhir menjadi “kota hantu.” Kangbashi, sebuah kota di Mongolia Dalam, dirancang untuk menampung satu juta orang, dengan infrastruktur modern dan fasilitas publik yang lengkap. Namun, setelah bertahun-tahun, hanya sekitar 150.000 penduduk yang tinggal di sana, meninggalkan sebagian besar kota kosong.
Jalan-jalan sepi, apartemen kosong, dan gedung-gedung pencakar langit yang tak berpenghuni menjadi ciri khas kota ini.
Tianducheng, yang dibangun sebagai replika Paris dengan menara Eiffel mini, juga mengalami nasib serupa. Kota ini dirancang untuk menampung 10.000 orang tetapi hanya dihuni sekitar 1.000 penduduk. Kota ini lebih sering menjadi latar foto pernikahan daripada sebagai tempat tinggal yang sesungguhnya. Dalam kasus ini, keterjangkauan properti menjadi faktor penghambat utama, di mana harga yang terlalu tinggi membuat banyak orang enggan pindah.
Xiongan, proyek terbaru yang dibangun dengan harapan besar sebagai pusat teknologi dan inovasi, juga menghadapi tantangan besar dalam menarik populasi yang cukup besar. Pemerintah China telah menggelontorkan miliaran dolar AS untuk proyek ini, tetapi hingga saat ini, hasilnya belum sesuai harapan.
Kesamaan dari kota-kota ini adalah kegagalan dalam menciptakan daya tarik ekonomi dan sosial yang cukup besar bagi penduduk untuk menetap. Ada sejumlah pelajaran penting yang bisa dipetik dari kegagalan kota-kota baru di China, yang dapat menjadi panduan dalam menghindari kesalahan serupa di IKN Nusantara.
Tiga Pelajaran Penting
Pertama, seperti yang ditekankan oleh Edward Glaeser dan Peter Hall, konektivitas dan daya tarik ekonomi memainkan peran penting dalam menentukan keberhasilan sebuah kota. Kota-kota hantu di China, seperti Kangbashi dan Tianducheng, gagal karena lokasinya yang terpencil dan sulit diakses. Nusantara, yang terletak di Kalimantan Timur, harus memiliki konektivitas yang kuat dengan pusat-pusat ekonomi di Pulau Jawa agar dapat menarik penduduk.
Kedua, seperti yang disampaikan Jane Jacobs, kehidupan sosial dan interaksi di tingkat jalanan adalah inti dari keberhasilan kota. Pemerintah perlu memastikan bahwa Nusantara tidak hanya menjadi kota administratif yang kaku, tetapi juga menjadi tempat di mana penduduk dapat hidup dan berinteraksi secara dinamis. Jika elemen sosial ini diabaikan, Nusantara berisiko menjadi kota yang megah tetapi sepi.
Ketiga, keterjangkauan hunian juga menjadi isu penting, seperti yang terlihat di Tianducheng. Jika properti di IKN Nusantara hanya dapat dijangkau oleh kalangan elit, maka penduduk umum akan enggan untuk pindah, dan kota tersebut akan gagal menarik populasi yang beragam.
Jika China terlalu jauh, tengoklah kota baru Naypyidaw di Myanmar. Kota yang dibangun sebagai ibu kota baru Myanmar pada 2005 itu dirancang untuk menampung sekitar satu juta penduduk dengan berbagai fasilitas pemerintahan modern. Pada realisasinya, kota ini hampir kosong dibanding luas dan fasilitasnya. Benar, ada yang bisa dipaksa pemerintah Myanmar untuk tinggal, yakni para pekerja pemerintah alias ASN. Namun, kota ini mendapat cap sebagai “kota hantu” karena penduduk lokal dan bisnis komersial enggan berpindah ke sana.
Nasib IKN Nusantara sangat tergantung pada bagaimana proyek ini dikelola dalam beberapa tahun mendatang. Jika pembangunan hanya berfokus pada infrastruktur fisik tanpa memperhatikan aspek sosial dan ekonomi, Nusantara berisiko menjadi kota megah namun sepi, mengikuti jejak kota-kota hantu di China. Namun, jika pemerintah mampu mengintegrasikan pembangunan sosial dengan baik—melibatkan masyarakat lokal, menciptakan peluang ekonomi, dan memastikan konektivitas yang kuat—Nusantara memiliki peluang besar untuk berhasil.
(Sumber)