Kepala Divisi Akuntansi PT Timah Tbk, Dian Safitri menyebut biaya peleburan bijih timah di lima smelter swasta lebih mahal Rp 2,2 triliun jika dibanding ongkos yang dikeluarkan perusahaan ketika menggunakan smelter sendiri.
Informasi itu Dian sampaikan ketika dikonfirmasi Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyangkut ongkos sewa smelter di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.
Dian dihadirkan sebagai saksi dalam dugaan korupsi tata niaga komoditas timah di PT Timah Tbk untuk terdakwa eks Direktur Utama PT Timah, Mochtar Riza Pahlevi Tabrani, eks Direktur Keuangan PT Timah, Emil Ermindra, dan beneficial ownership Stanindo Inti Perkasa.
Mulanya, Jaksa mengingatkan keterangan Dian kepada penyidik terkait biaya sewa smelter di lima perusahaan swasta.
“Bisa dijelaskan Bu, ini komponennya apa sehingga ada Ibu bisa menjelaskan ada selisihnya sekitar Rp 2,2 triliun?” tanya Jaksa di ruang sidang Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Rabu (18/9/2024).
Dian lantas menjelaskan bahwa terdapat rekonsiliasi antara PT Timah dengan badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menyangkut program kerja sama smelter.
Menurut Dian, dalam kerja sama sewa smelter tahun 2018-2021, untuk volume transaksi 63.160,8 ton logam timah, PT Timah membayar Rp 3 triliun ke lima perusahaan smelter swasta.
Jika dibandingkan dengan biaya peleburan pada 2018-2021, yakni Rp 11 ribu hingga 12 ribu per kilogram dengan menggunakan fasilitas smelter PT Timah sendiri, ongkos yang dikeluarkan tidak sampai Rp 1 triliun.
“Hanya memerlukan biaya kurang lebih sebesar Rp 738 miliar sehingga ada selisih kurang lebih Rp 2,2 triliun untuk transaksi,” ujar Dian.
Jaksa lantas memastikan bahwa biaya yang dikeluarkan ke fasilitas sendiri (own facility) PT Timah dimaksud adalah peleburan menggunakan tungku milik sendiri.
“Ini (Rp 738 miliar) adalah biaya estimasi kalau dilebur dengan fasilitas smelter PT Timah betul?” tanya jaksa.
“Iya betul,” jawab Dian.
“Sehingga terjadi selisih atau kemahalan sekitar Rp 2,2 triliun Bu?” timpal jaksa.
“Iya betul,” kata Dian.
“Untuk kelima smelter ini?” lanjut jaksa memastikan.
“Untuk kelima smelter ini,” ujar Dian.
Dalam perkara korupsi ini, negara diduga mengalami kerugian keuangan hingga Rp 300 triliun.
Mochtar, Emil, dan kawan-kawannya didakwa melakukan korupsi ini bersama-sama dengan crazy rich Helena Lim.
Perkara ini juga turut menyeret suami aktris Sandra Dewi, Harvey Moeis yang menjadi perpanjangan tangan PT Refined Bangka Tin (RBT).
Bersama Mochtar, Harvey diduga mengakomodasi kegiatan pertambangan liar di wilayah IUP PT Timah untuk mendapat keuntungan.
Harvey menghubungi Mochtar dalam rangka untuk mengakomodir kegiatan pertambangan liar di wilayah IUP PT Timah.
Setelah dilakukan beberapa kali pertemuan, Harvey dan Mochtar menyepakati agar kegiatan akomodasi pertambangan liar tersebut di-cover dengan sewa menyewa peralatan processing peleburan timah.
Selanjutnya, suami Sandra Dewi itu menghubungi beberapa smelter, yaitu PT SIP, CV VIP, PT SPS, dan PT TIN, untuk ikut serta dalam kegiatan tersebut.
Harvey meminta pihak smelter untuk menyisihkan sebagian dari keuntungan yang dihasilkan. Keuntungan tersebut kemudian diserahkan ke Harvey seolah-olah sebagai dana corporate social responsibility (CSR) yang difasilitasi oleh Helena selaku Manager PT QSE.
Dari perbuatan melawan hukum ini, Harvey Moeis bersama Helena Lim disebut menikmati uang negara Rp 420 miliar.
“Memperkaya terdakwa Harvey Moeis dan Helena Lim setidak-tidaknya Rp 420.000.000.000,” papar jaksa.
Atas perbuatannya, Harvey Moeis didakwa melanggar Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 3 UU Tahun 2010 tentang TPPU.
(Sumber)