Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan kasus dugaan korupsi proyek pengadaan Alat Pelindung Diri (APD) Covid-19 di Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah mengakibatkan negara merugi hingga ratusan miliar rupiah.
“Atas pengadaan tersebut, audit BPKP menyatakan telah mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp319 miliar (Rp319.691.374.183,06),” ujar Direktur Penyidikan KPK, Asep Guntur Rahayu ketika jumpa pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Kamis (3/10/2024).
Kerugian negara ini didapatkan dari hasil perhitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Konstruksi Perkara
Asep menuturkan, proyek pengadaan ini awalnya direncanakan ketika wabah COVID-19 telah menyebar ke Indonesia pada Bulan Maret 2020. Menghadapi wabah tersebut, Kemenkes mengadakan proyek APD yang dibeli dari PT PT Permana Putra Mandiri (PPM) sebagai distributor resmi selama dua tahun.
“Kemenkes pun melalui Pusat Krisis Kesehatan pada awal Covid 19 membeli APD sebanyak 10.000 Pcs dari PT PPM dengan harga Rp. 379.500/set,” ucap Asep.
Kemudian, pada 21 Maret 2020, TNI atas perintah Kepala BNPB pada saat itu (Almarhum Doni Monardo), mengambil APD dari produsen APD milik PT PPM di Kawasan Berikat, dan langsung mendistribusikan ke 10 Provinsi.
“Dengan tidak dilengkapi dokumentasi, bukti pendukung, dan surat pemesanan,” ungkap Asep ketika proses penyaluran APD.
Lalu, pada 22 Maret 2020, Shin Dong Keun selaku Dirut PT Yonsin Jaya (YJ) selaku perusahaan yang mewakili para produsen APD dan Satrio Wibowo selaku Dirut PT Energi Kita Indonesia (EKI), menandatangani kontrak kesepakatan sebagai authorized seller APD sebanyak 500ribu set dengan nilai tergantung nilai tukar dollar saat pemesanan.
“Pada 23 Maret 2020, PT PPM & PT EKI menandatangani kontrak kerja sama distribusi APD, dengan margin 18,5% diberikan kepada PT PPM,” ucap Asep.
Lebih lanjut Asep memaparkan, pada 24 Maret 2020, dalam rapat, Harmensyah selaku KPA BNPB melakukan negosiasi harga APD dengan Satrio Wibowo, agar diturunkan dari harga USD 60 menjadi USD 50.
“Penawaran tersebut tidak mengacu pada harga APD (merk yang sama) yang dibeli oleh Kemenkes sebelumnya, yaitu sebesar Rp 370.000. Dalam rapat juga disimpulkan PT PPM akan menagih pembayaran atas 170.000 set APD yang didistribusikan TNI dengan harga USD 50/set (sekitar Rp700.000),” ungkap Asep menjelaskan ada praktik mark up atau penggelembungan harga.
Kemudian, pada tanggal 25 Maret 2020, PT EKI & PT YJ Yonsin Jaya melakukan pemesanan 500.000 set APD dengan menyerahkan giro Rp113 Milyar bertanggal 30 Maret 2020.
“Dokumen kepabean dan dokumen lain sengaja menggunakan data PT PPM karena PT EKI tidak mempunyai ijin penyaluran alat kesehatan, tidak memiliki gudang, dan Non PKP,” ujar Asep.
Lebih jauh Asep mengungkapkan, pada 27 Maret 2020, Satrio Wibowo menghubungi Kepala BNPB (Almarhum Doni Monardo) pada saat itu, diantaranya untuk segera dilakukan pembayaran terhadap 170.000 APD yang diambil TNI, dan meminta diberikan SPK dari BNPB agar sesuai dengan pengamanan raw material dari Korea.
“Pembayaran pertama sebesar Rp10 Milyar dilakukan pada 27 Maret 2020 dari Bendahara BNPB kepada Rekening BNI PT PPM, Dimana pada saat itu belum ada
kontrak ataupun surat pesanan,” ungkap Asep.
“Sedangkan, pembayaran kedua sebesar Rp109 Miliar dilakukan pada 28 Maret 2020 dari PPK Puskris Kemenkes kepada Rekening BNI PT PPM,” sambungnya.
Di sisi lain, kata Asep, Hermensyah baru menunjuk Budi Sylvana sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) untuk pengadaan APD di Kementerian Kesehatan RI
pada 28 Maret 2020. Sedangkan surat keputusan penunjukan tersebut dibuat backdate tertanggal 27 Maret 2020.
Pada rapat itu juga diterbitkan surat pesanan APD dari Kementerian Kesehatan kepada PT. PPM sejumlah 5.000.000 Set dengan harga satuan USD 48,4, yang ditandatangani oleh Budy Sylvana, Ahmad Taufik selaku Dirut PT. PPM dan Satrio Wibowo selaku Dirut PT. Energi Kita Indonesia.
“Di mana dalam surat tersebut tidak terdapat spesifikasi pekerjaan, waktu pelaksanaan pekerjaan, pembayaran, serta hak dan kewajiban para pihak secara terperinci,” ujar Asep.
Selain itu, surat pemesanan tersebut ditujukan kepada PT PPM, tetapi PT EKI turut menandatangani surat tersebut. Pada tanggal 15 April 2020, Kementerian Kesehatan memberikan surat pemberitahuan kepada Direktur PT. PPM, bahwa sampai tanggal 15 April 2020 PT. PPM Permana Putra Mandiri telah mengirimkan APD sejumlah 790.000 set dari total 5.000.000 set APD yang sudah dipesan.
Kemudian pada 7 Mei 2020 dilakukan negosiasi ulang harga, disepakati:
• Barang yang dikirim tanggal 27 April 2020 – 7 Mei 2020 dengan harga Rp. 366.850 dengan jumlah 503.500 set.
• Barang yang dikirim setelah tanggal 7 Mei 2020 dengan harga Rp. 294.000.
• Bahwa sampai dengan tanggal 18 Mei 2020, Kemenkes telah menerima sebanyak 3.140.200 set APD.
Atas pengadaan tersebut, Audit BPKP menyatakan telah mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp319 miliar (Rp 319.691.374.183,06).
KPK Tetapkan 3 Orang Tersangka
Pada kasus ini, KPK telah menetapkan tiga orang tersangka, yakni mantan Kepala Pusat Krisis Kesehatan Kemenkes, Budi Sylvana (BS), Dirut PT. Energi Kita Indonesia (EKI), Satrio Wibowo (SW) dan Dirut PT. Permana Putra Mandiri (PPM), Ahmad Taufik.
Budi Sylvana dan Satrio telah ditahan KPK usai merampungkan pemeriksaan. “KPK selanjutnya melakukan penahanan kepada Tersangka BS di Rutan Cabang KPK Gedung ACLC, dan Tersangka SW di Rutan Cabang KPK Gedung Merah Putih,” kata Direktur Penyidikan KPK, Asep Guntur Rahayu, Kamis (3/10/2024).
Asep mengatakan, untuk kebutuhan penyidikan, dua tersangka ditahan hingga 20 hari ke depan yang terhitung dari tanggal 3 sampai dengan 22 Oktober 2024.
Sementara itu, Ahmad Taufik tidak hadir dalam jumpa pers penahan karena masih pemulihan karena pasca operasi.
(Sumber)