Para ulama fikih berpendapat jika pengguguran kandungan (aborsi) memiliki beberapa kriteria waktu yang kesemuanya itu punya konsekuensi hukum berbeda. Para fuqaha sepakat aborsi sesudah ditiupkan ruh adalah haram atau tidak boleh dilakukan.
Perbuatan tersebut merupakan kejahatan terhadap nyawa dan memiliki konsekuensi hukum apabila dilakukan. Prof Huzaemah Tahido Yanggo dalam buku Problematika Fikih Kontemporer menjelaskan, apabila seseorang melakukan aborsi, maka diwajibkan baginya untuk membayar diyat jika janin keluar dalam keadaan hidup. Jika janin keluar dalam keadaan mati, maka orang tuanya harus membayar ghurrah (denda bernilai lima ekor unta).
Adapun jika pengguguran kandungan sebelum ditiupkan ruh pada janin (embrio), yaitu sebelum berumur empat bulan, para fuqaha berbeda pendapat. Ulama yang membolehkan aborsi sebelum janin berusia empat bulan adalah Imam Muhammad ar-Ramli (wafat 1004 Hijriyah).
Alasan Imam Muhammad ar-Ramli adalah pada usia kandungan tersebut, belum ada makhluk bernyawa yang berada di dalam rahim. Ada pula ulama yang memandang bahwa hukum yang demikian itu adalah makruh, dengan alasan karena janin masih mengalami pertumbuhan.
Sementara, ulama yang mengharamkan aborsi sebelum ditiupkan ruh, antara lain, Imam Ibnu Hajar Al-Haitami, Imam Ghazali, hingga Syekh Mahmud Syaltut. Para ulama ini mengharamkan pengguguran kandungan sebelum ditiupkan ruh karena sesungguhnya embrio pada saat itu sudah ada kehidupan yang patut dihormati, yakni masa hidup pertumbuhan dan persiapan.
Pengguguran kandungan pada masa perkembangan kandungan makin meningkat pula jinayah-nya. Sementara itu, paling besar jinayah adalah sesudah lahirnya kandungan dalam keadaan hidup.
Berdasarkan uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa sejak bertemunya sel sperma dengan ovum dan sudah terjadi pembuahan, maka aborsi dipandang sebagai suatu kejahatan dan haram hukumnya. Meskipun janin belum bernyawa, hal demikian tetap haram. Sebab, sudah ada kehidupan dan janin yang sedang mengalami pertumbuhan dan persiapan untuk menjadi makhluk yang baru yang bernyawa.
Pendapat tentang embrio yang sedang dalam pertumbuhan sudah ada kehidupan walau belum ditiupkan ruh, kata Prof Huzaemah, sama dengan pendapat ahli kedokteran (embriolog). Hal ini juga sesuai dengan hasil Munas MUI Nomor 4 tahun 1983 dan fatwa MUI Tahun 2005 tentang kehidupan dalam konsep Islam adalah suatu proses yang sudah dimulai sejak terjadinya pertumbuhan.
Oleh sebab itu makin besar kandungan, makin besar pula jinayah-nya (tindak pidananya), semakin besar pula dosanya. Apalagi setelah janin bernyawa dilakukan aborsi, terlebih lagi membunuhnya setelah lahir meskipun bayi itu hasil hubungan gelap (di luar perkawinan yang sah). Padahal, Islam berpandangan setiap anak yang lahir adalah dalam keadaan suci.
Ini sebagaimana hadis Nabi yang berbunyi, “Kullu mauludin yuladu alal-fithrati, fa-abawahu yuhawwidaanihi aw yunasshiraanihi aw yumajjisaanihi.” Yang artinya, “Semua anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kemudian orang tuanya lah yang menyebabkan anak itu menjadi Yahudi, atau Nasrani, atau Majusi.”
Aborsi yang dibolehkan, seperti apa?
Ada juga aborsi yang dilakukan karena dalam keadaan benar-benar terpaksa, yaitu demi menyelamatkan nyawa sang ibu. Dalam kondisi itu, Islam membolehkan bahkan mewajibkannya.
Hal ini sesuai dengan kaidah fikih yang menyebutkan bahwa jika terjadi kontradiksi dua mafsadat, maka yang dihindari adalah yang terbesar bahayanya (mudharat-nya) dengan mengerjakan yang paling ringan mudharat-nya.
Dalam situasi tersebut, Islam membolehkan untuk melakukan aborsi, yakni dengan mengorbankan janin untuk menyelamatkan nyawa calon si ibu tadi. Nyawa ibu lebih diutamakan mengingat dia merupakan sendi keluarga dan telah mempunyai kewajiban, baik terhadap Allah maupun terhadap sesama makhluk.
Untuk janin, sebelum ia lahir dalam keadaan hidup, ia belum memiliki hak seperti hak waris dan belum memiliki kewajiban apa pun.