News  

Larang ‘Partai Cokelat’ Ikut Pemilu!

Isu keterlibatan ‘Partai Cokelat’ di pemilihan umum baik Pilpres, Pileg dan Pilkada telah lama mengemuka terutama saat Pilpres 2019. Ketika itu Jokowi kembali menjadi peserta Pilpres untuk periode kedua.

Dugaan keterlibatan ‘Partai Cokelat’ di Pilpres 2019 menguat saat banyaknya petugas KPPS yang meninggal dunia. Konon kabarnya ada operasi khusus cawe-cawe ‘Partai Cokelat’ untuk memenangkan Jokowi di periode kedua. Kematian ratusan petugas KPPS hingga hari ini masih menjadi misteri.

‘Partai Cokelat’ diduga kuat terlibat memberangus massa di depan Bawaslu bulan Mei 2019 ketika pendukung Prabowo-Sandi menuntut keadilan.

Cawe-cawe ‘Partai Cokelat’ makin kentara keterlibatannya di Pilpres dan Pileg 2024. ‘Partai Cokelat’ menggunakan jaringannya hingga ke desa-desa untuk memobilisasi massa mendukung pasangan calon presiden dan calon anggota legislatif terutama calon anggota legislatif dari keluarga besar ‘Partai Cokelat’ seperti anak, menantu dan keponakan.

Bahkan ‘Partai Cokelat’ tak segan-segan mengintimidasi pejabat daerah dengan kasus hukum untuk dibarter dengan calon presiden dan calon anggota legislatif yang didukung ‘Partai Cokelat’.

Bukan rahasia umum lagi dugaan keterlibatan anggota ‘Partai Cokelat’ pada level desa dan kecamatan untuk mengubah dan mengatur hasil Pilpres dan Pileg.

Isu keterlibatan ‘Partai Cokelat’ di Pilkada serentak 2024 kembali menjadi perbincangan publik. Dua pensiunan Jenderal TNI kalah di Sumatera Utara dan Jawa Tengah. Konon kabarnya tidak terlepas dari cawe-cawe ‘Partai Cokelat’ di kedua provinsi itu dimana calon gubernurnya didukung oleh Jokowi.

Sebagaimana disinyalir Politisi PDIP Deddy Yevri Sitorus banyaknya keterlibatan ‘Partai Cokelat’ di Pilkada 2024. Bahkan, Deddy Sitorus menyebut ada dua nama jenderal polisi yang terlibat langsung mencampuri pilkada 2024.

Lucunya, suara kritis Deddy Sitorus hendak diadili oleh Mahkamah Kehormatan Dewan DPR. Bahaya bila opini yang dilontarkan anggota DPR yang menuding keterlibatan ‘Partai Cokelat’ bakal diadili. Sama halnya pembungkaman kebebasan berpendapat.

Justru seharusnya Presiden Prabowo mendorong pembubaran ‘Partai Cokelat’ melalui reposisi kepolisian dari dibawah presiden menjadi dibawah kementerian seperti Satpol PP hari ini dengan penambahan tugas dan fungsi dibidang keamanan dan ketertiban masyarakat.

Posisi Kepolisian di bawah presiden sering disalahgunakan. Dari alat negara menjadi alat kekuasaan untuk bertindak sewenang-wenang. Bahkan seringkali digunakan oleh rezim yang berkuasa untuk memberangus kemerdekaan berserikat, berkumpul dan berpendapat.

Munculnya ‘Partai Cokelat’ tidak terlepas dari cawe-cawe presiden untuk melanggengkan kekuasaan presiden dan melanggengkan kekuasaan pejabat kepolisian baik yang masih aktif maupun yang sudah pensiun.

Era Orde Baru dikenal dwifungsi TNI. Era Reformasi dwifungsi polisi. reformasi tidak ada artinya selain hanya memasung hak-hak rakyat. Hakikatnya tidak berubah. Dari supermasi TNI ke supermasi Polri.

Bila ‘Partai Cokelat’ tidak dibubarkan dan polisi tidak dilarang menjadi bagian pemenangan kontestan pemilu baik Pilpres, Pileg dan Pilkada akan merusak demokrasi dan percuma ada pemilu karena pemenang pemilu sudah ditentukan sebelum hari pemungutan suara.

Untuk apa ada Pemilu tahun 2029 bila Presiden Prabowo tidak berani mereformasi kepolisian. Meski pesimis karena salahsatu menteri dan pejabat kepolisian ikut bermain memenangkan Prabowo di Pilpres 2024. Reformasi kepolisian di era Prabowo seperti pungguk merindukan bulan.

Akan tetapi kita tetap berharap pada Presiden Prabowo untuk mereformasi kepolisian. Soal berani tidaknya, wallahua’lam bish-shawab.

Bandung, 29 Jumadil Awwal 1446/1 Desember 2024
Tarmidzi Yusuf, Kolumnis